Seri Dewi Ular - Tara Zagita Puncak Kematian Cinta Karya : Tara Zagita Sumber DJVU : Anuraga Editor : Anuraga Ebook oleh : Dewi KZ http://zheraf.wapamp.com http://www.zheraf.net 1 PESAWAT televisi yang sedang menayangkan siaran langsung pertandingan sepak bola Liga Champions tiba-tiba padam secara mengejutkan. Bluub...! Rasa kaget bercampur kecewa membuat jengkel penontonnya hingga menghambuskan geram dan makian sesaat. "Brengsek! Pakai padam segala, apa-apaan sih?!" "Memang dasar kunyuk! Makanya lain kali kalau beli teve jangan yang merek beginian. Yang merek Kuyuktron sekalian deh, bisa gampang bantingnya!" "Udah, jangan banyak ngoceh luh! Cerewet amat sih?! Buruan colokan kabelnya dibetulin! Udah mau gol tuh tadi. Uuh... jangan-jangan udah dua kali.gol sekarang ini....?!" "Bodong luh itu yang digolkan?! Belum ada satu menit masa bisa gol dua kali sih? Ngaco aja luh...," sambil membetulkan kabel yang memang mempunyai colokan agak kendor itu. Lubang viting yang lebar besar sedikit dari jack kabel teve memang sering mengendur sendiri dan membuat pesawat teve padam seketika. Dengan sedikit dinaikkan dan lebih ditancapkan lagi, biasanya aliran listriknya kembali normal dan teve itu menyala lagi. Tapi rupanya malam ini agak beda dengan malam sebelumnya. Televisi ukuran 14 inc yang baru dibeli sebulan yang lalu itu ternyata tak mau menyala lagi. Hal itu membuat mereka berdua menjadi jengkel dan penasaran, sehingga mereka lari keluar kamar dan menghidupkan pesawat teve layar lebar di ruang tengah. Rupanya TV ukuran 36 inc itu juga tak mengeluarkan gambar apapun. Menyala terang dan berbintik-bintik tidak. "Aneh...?!" "Ah, biasanya tinggal diaktifkan powernya udah langsung hidup kok? Masa' sekarang teye ini pakai ngadat juga sih?! Kabel sambungannya belum kamu colokin'kali, San?!" "Udah! Lihat aja tuh...!" "Coba nyalakan VCD. Bisa nggak?!" "Nggak ada tanda-tanda kehidupan juga tuh?!" "Kasetnya, coba! Masa' tape atau radio juga nggak hidup?!" "Nggak! Tuuh. .. lihat dari dekat dong! Nggak ada strom yang masuk, kan? Lampu merahnya aja nggak hidup tuh!" Hening. Lengang sekali. Mereka mulai curiga, ada apa dengan sang malam kali ini? Pemuda berambut kucai yang memiliki kepekaan gaib itu mulai curiga. Ia sengaja bungkam dan menerawang Ia menyimak tanda-tanda keganjilan yang tertangkap oleh naluri gaibnya sebagai jelmaan makhluk lain menjadi manusia. Lalu, ia mulai merasakan ada ketidakberesan di sekelilingnya. "Kurasa ini semua... " "Ssst...!" potongnya cepat. Tangan kanannya sedikit diangkat dengan telapak tangan terbuka, pertanda tak menghendaki suara lain terdengar di dekatnya. Sikapnya yang serius dengan dahi berkerut itu telah membuat Sandhi menjadi sedikit tegang dan merasa heran. Maka, dihampirinya pemuda agak kurus berambut kucai itu, lalu bertanya dengan nada membisik. "Ada apaan sih?!" "Ada sesuatu yang nggak beres, sepertinya." "Nggak beres apanya?! Ngomong yang benar kamu,Ron!" "Sst.. .!" mendesis lagi mulut Buron, membuat Sandhi tak jadi melakukan desakan ulang. Sandhi yakin bahwa Buron dapat mendeteksi suasana di sekeliling mereka, seandainya memang benar ada gelombang getaran gaib yang perlu dicurigai. Sandhi tahu, kemampuan seperti itu dimiliki Buron karena sebenarnya Buron adalah makhluk yang befasal dari alam lain, yaitu dari alam kehidupan bangsa jin. Meski pun Jin layon itu kini sudah menjelma menjadi manusia demi sebuah pengabdian terhadap gadis putri dewa itu, tapi kesaktian Buron sebagai Jin Layon tidak berkurang sedikit pun. Bahkan semakin akan bertambah jika. loyalitas dan kesetiaannya kepada Dewi Ular sudah mencapai jumlah waktu tertentu. Itulah sebabnya, maka hati Sandhi kini menjadi berdebar-debar cemas setelah Buron menampakkan gejala-gejala kegelisahannya. Ia ikuti langkah Buron ke kamar lagi, dan ia pandangi dengan heran ketika Buron mencoba menghidupkan mini compo yang ada di meja tulis di antara kedua ranjang. Ternyata mini compo itu juga tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Sepertinya tidak mendapat aliran listrik seperti biasanya, walau sebenarnya jack kabel sudah dicolokkan ke lubang viting sebagaimana mestinya. "Gawat..?!" gumam Buron pelan sekali, seakan ia bicara pada dirinya sendiri. Matanya memandang ke sana-sini dengan curiga "Ron, ada apa sebenarnya?!" "Lihat jam dinding kita itu! Jarumnya nggak bergerak kan?!" "Astaga?! Sejak kapan jam itu mati?! Padahal baru seminggu yang lalu battery-nya kuganti dengan yang baru lho?!" Napas panjang dihela dalam-dalam. Buron bicara tanpa memandang ke arah Sandhi. "Rasa-rasanya... kita akan kedatangan tamu." "Mau ada tamu? Sudah pukul satu lewat begini?!" "Ya," jawabnya singkat sambil menarik laci meja untuk mengambil sesuatu dari dalam laci tersebut. Sandhi semakin mendekati. "Tamu dari mana, Ron?" "Dari alam sana!" "Hah...?! Maksudmu... dari alam gaib?!" Sebuah buku agenda diambilnya. Buron mencatat sesuatu dalam agenda tersebut, sesuai saran Ku mala Dewi alias Dewi Ular majikannya itu, agar rajin mencatat seperti itu kelak pasti ada manfaatnya sendiri bagi kehidupan gaibnya. Sementara itu, Sandhi semakin waswas setelah mendengar jawaban Buron tadi. Ia ingin kepastian sekali lagi. "Ron, apabenar kita mau kedatangan tamu dari alam sana?! Kamu nggak becanda nih Ron?" "Gelombang energi bumi terganggu oleh kedatangan energi dari dimensi yang berbeda. Makanya signal teve hilang, gelombang radio pun hilang, bahkan kondisi ini telah merubah frekuensi atmosfir kita menjadi sangat rendah yang sebentar lagi akan mempengaruhi medan magnit bumi. Karenanya, arus listrik tak dapat diterima oleh komponen-komponen elektronik. Sistem jaringan kosmik kita pun akan ikut berubah, sebentar lagi. Dan, sangat berpengarah pada saluran bawah sadar dalam otak tiap manusia. Gangguan ini harus segera diatasi, karena sekarang saja kita sudah mengalami penurunan kadar metal dan pergeseran hukum alam. Jika tidak segera diatasi, bi sa-bisa seluruh permukaan bumi ini akan mengalami proses dematerilisasi, yaitu kembali ke unsur aslinya; debu dan gas hidrogen... " "Tumben amat jin usil ini bisa ngomong seilmiah ini?!" gumam hati Sandhi. "Jangan-jangan bukan dia yang ngomong nih? Atau... dia sadap jalan pikiran orang lain yang kebetulan ada di dekat-dekat sini'saja? Mungkin alam pikirannya Tuan Profesor Bram, tetangga rumah sebelah itu?!" "Jadi, listrik ini sebentar lagi juga akan putus. Semua lampu akan padam Arus yang ada saat ini adalah elemen dasar listrik. Tapi..." Tiba-tiba terdengar dentuman besar yang menggelegar di angkasa. Bleggeeerrr....! "Hohh Ronan...??!" Sandhi terpekik kaget dan sangat ketakutan, karena listrik tiba-tiba padam total. Sedangkan lantai kamar bergetar agak kuat akibat dentuman menggelegar itu. Sandhi sempat menyambar lengan Buron tadi. Maka, kini ia memeluk Buron kuat-kuat, seperti khawatir ditinggalkan oleh jelmaan Jin Layon itu. "Rese luh, ah! Jangan tarik kausku begini. Robek semua, Bego?!" "Ak... aku takut kalau..." "Hey, lihat jendela tuh...!" sambar Buron yang membuat kata-kata Sandhi terhenti, dan matanya memandang ke arah jendela kamar. Dalam kegelapan itu ternyafa mereka dapat melihat dengan jelas munculnya bias cahaya di luar sana. Dari celah-celah jendela mereka melihat cahaya yang menerangi alam di luar rumah itu menyerupai cahaya api dari sebuah rumah yang terbakar. Oleh karenanya, tanpa dikomando lagi mereka bergegas mendekati jendela dan membukanya. Semua dilakukan dengan tergagap- gagap'karena kondisi gelap di dalam kamar. Kleek...! Byaar... ! Lampu menyala kembali sebelum jendela berhasil mereka buka. Baru dibuka jendelanya suasana di dalam kamar sudah menjadi terang seperti semula. Ketika mereka melongok ke arah luar melalui jendela yang akhirnya dibuka semua itu, ternyata cahaya membayang merah seperti kobaran api itu sudah tidak ada. Mereka tak tahu darimana datangnya cahaya tadi, tapi yang jelas mereka segera memeriksa keadaan sekeliling rumah, dan tidak ada satu pun benda yang terbakar. Begitu pula rumah-rumah tetangga tidak ada yang mengalami kebakaran. "Aneh?! Cahaya dari mana itu tadi, ya Ron?!" "Dari .," Buron batal menjawab pertanyaan Sandhi. Ia bergegas lari ke dalam kamarnya dengan melompat jendela. "Tevenya sudah hidup kembali, San. Tuuh... pas tendangan pinalti lagi?!" Waah, gawat nih! Bisa bobol pertahanan Valencia kalau begini caranya...?!" Buron masih terus mengomentari pertandingan sepak bola itu, sementara Sandhi masih penasaran dengan cahaya kemerah-merahan tadi. Ia juga masuk ke kamar dengan cara lompat jendelp juga Tapi tidak, langsung menyimak ke layar teve, melainkan masih memandangi keadaan di luar, mencari-cari kemungkinan datangnya cahaya misterius itu. Hatinya mwmang sudah tidak setakut tadi, karena lampu sudah menyala kembali dan suasananya telah normal lagi. "Sialan! Kena pengaruh bualannya si Buron aku tadi!" gerutunya dalam hati. "Kondisi gangguan listrik dari gardu induk sana dia katakan gangguan dari alam gaib?! Uuuh... ketahuan gobloknya aku kalau begini. Mau- maunya terpengaruh teori sintingnya?!" Buron bersorak kegirangan karena kesebelasan favoritnya tidak jadi kebobolan gol tendangan pinalti. Sandhi makin kesal, ingin memukul kepala Buron memakai guling dari belakang. Namun suara dering telepon lebih dulu terdengar, sehinga ia tak jadi memukul si jin usil itu. "Hey, kecilin suara tevenya. Ntar kalau Mak Bariah bangun, kena kemplang kamu, Ron!" serunya sambil bergegas ke ruang tengah, menyambut telepon yang belum berhenti berdering itu. Buron mengikuti saran tersebut, karena ia memang tak ingin diomeli habis-habisan oleh Mak Bariah, pelayan setianya Dewi Ular untuk bagian dapur itu. "Hallo...?" "Hallo, siapa nih? Buron, ya?!" "Sandhi!" "Ooo ... Sandhi... " "Ya. Ini aku. Mau bicara sama Buron?" pancing Sandhi setelah mengenali suara perempuan itu tak lain adalah suara Richa; penyanyi bar yang pernah meminta bantuan Kurnala Dewi dalam kasus hilangnya Robby, sepupunya. Sandhi cukup hafal dengan suara Richa yang rada-rada angkuh itu, karena ia pernah seranjang sepelukan bersama penyanyi bar yang cantik, montok, dan memiliki mata agak sayu itu, (Baca senal Dewi Ular dalam episode: "MISTER PENCULIK ASMARA") ". Tak heran bagi Sandhi jika Richa menelepon sebegitu larut malam dan masih bersuara segar, karena Richa memang jarang tidur malam. Pulang dari bar paling cepat pukul 2 malam, setelah tiba di rumah pun belum tentu langsung tidur. Apalagi jika ia sedang mendapat teman kencan, bisa-bisa pukul enam pagi baru tidur. Pengakuan seperti itu pernah dituturkan oleh Richa secara blak-blakan kepada Sandhi. Karenanya, Sandhi tidak merasa aneh mendengar bahwa saat itu Richa menelepon dari dalam taksi yang membawanya pulang. "Gara-gara tadi mati lampu, kami langsung tutup. Karena semua tamu juga langsung pada pulang." "O, begitu ... Terus...? Kamu telepon kemari mau ngobfol sama Buron, begitu?" "Jangan sok tahu kalau kamu nggak tahu apa-apa!" Richa bernada agak dongkol.'"Aku mau bicara sama Kumala. Apa dia masih melek?" "Kumala belum pulang. Masih di Stockholms, Swedia." "Oh, Kumala ke Swedia? Sejak kapan?" "Sudah sembilan hari ini. Mungkin besok Kamis dia sudah berada di rumah, kalau nggak ada penundaan lagi dari pihak keluarga istana. Tadi pagi sudah kasih kabar kemari kok. Ada apa sih, Cha?!" "Nggak. Aku cuma mau menanyakan arti keanehan tadi itu. Penasaran sekali aku kalau belum mendapat jawaban tentang maksud dari munculnya hujan cahaya itu. Soalnya... " "Hujan cahaya?!" Sandhi berguman memotong kata-kata Richa "Maksudmu hujan cahaya yang mana sih?!" "Yang tadi... yang barusan terjadi! Masa' kamu nggak lihat sih? Wah, berarti kamu tadi udah tidur pules, ya?" Sandhi terpancing untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya dan apa saja yang dilihat oleh Richa ketika lampu padam semua. Rupanya peristiwa aneh tadi sempat menjadi bahan pembicaraan orang-orang malam yang kebetulan sedang berada di tempat terbuka. Seperti halnya Richa yang kala itu sedang mengambil kartu HP dari mobil temannya Pada saat itu Richa mengaku ketakutan begitu mendengar suara guntur yang menggelegar menggetarkan benda-benda di sekitarnya, termasuk mobil temannya itu. Richa mengaku sempat merunduk rendah di samping mobil bersama temannya, tapi kala itu berubah menjadi merah lembayung. "Seperti langit di saat matahari mau tenggelam," ujarnya. "Dan, permukaan langit menjadi bergaris-garis, seperti kristal yang sedang retak, mau pecah. Lalu, setelah gema guntur besar tadi hilang, aku dan temanku bermaksud kembali ke lobby, supaya kalau langit runtuh kami tidak terkena reruntuhannya. Begitu seolah-olahjalan pikiranku, San." "Terus...?" "Nah, waktu kami berdiri dari posisi jongkok, ternyata kedua kaki kami seperti tersedot oleh bumi. Nggak bisa bergerak sedikit pun. Orang-orang yang lain juga mengaku begitu, khususnya yang kebetulan ada di tempat terbuka seperti aku dan temanku Kaki kananku sengaj a kutarik ke atas sampai kedua tanganku ikut menariknya, tapi sepertinya kakiku tadi disedot oleh sesuatu kekuatan dari dasar bumi, San. Nah. pada saat itulah, ketika aku sebentar-sebentar menengok ke atas karena takut langit retak itu benar-benar runtuh, maka dengan jelas sekali kuiihat ada bintik-bintik air hujan yang turun dari langit. Temanku juga melihat jelas dan menyangka turun hujan. Tapi anehnya, hujan itu berwarna merah.-Berkilauan dan membuat langit semakin terang. Hanya saja, belum sampai ada setetes cahaya merah menyentuh atap gedung, rintik hujan cahaya itu sudah lenyap secara misterius, San." "Maksudnya secara misterius?" "Yaaah... hilang lenyap begitu saja! Tapi bagian atasnya menyusul lagi rintik cahaya merah bara selayaknya hujan biasa, San. Cuma, setiap mau menyentuh atap gedung. . pokoknya dalam jarak tertentu, hujan itu lenyap,dengan sendirinya. Pucuk pohon cemara pun belum sempat tersentuh oleh hujan cahaya yang kira-kira berlangsung sekitar lima sampai sepuluh detik. Setelah itu, hilang semua. Langit juga gelap lagi seperti biasa, lampu menyala dan semuanya normal kembali... sampai sekarang ini." Richa mengaku sampai saat ini masih dicekam perasaan takut dan cemas. Meski kakinya sudah bisa berjalan seperti biasa, tapi ia masih merasakan sisa getaran rasa takutnya yang menjalar sampai di kedua kakinya. Masih terasa lemah. Karena itu pula maka ia memilih untuk lekas pulang sebelum terjadi sesuatu pada dirinya. Sebab, beberapa orang di bar tadi ada yang berpendapat, hujan cahaya itu adalah tanda-tanda gaib yang menunjukkan bahwa kiamat akan tiba dalam waktu dekat ini. Dan, menurut mereka, tanda-tanda gaib itu memiliki kutukan tersendiri yang dapat membuat sial bagi siapa pun yang melihatnya Richa ingin menanyakan kebenaran rumor tersebut kepada Kumala Dewi . Sayang sekali malam ini Dewi Ular tidak berada di-tempat, Seandainya saat ini Dewi Ular sudah pulang dari Stockholms, sudah tentu ia dapat memberi penjelasan kepada siapa pun tentang hujan cahaya yang kata Richa mirip percikan bunga api, menyebar luas di seluruh permukaan langit kota Jakarta itu. Sandhi-sendiri menjadi ikut penasaran seperti Richa. Ia coba meminta penjelasan kepada Buron, tapi tanggapan Buron justru; semakin menimbulkan rasa heran lebih besar lagi di hatinya. Buron tidak memberi penjelasan yang berarti, tetapi wajahnya menjadi tegang, kehilangan keceriaan, serta diliputi kebimbangan yang menggelisahkan hatinya. "Hujan ... , hujan cahaya seperti itu . entahlah. Aku nggak tahu apa-apa soal hujan cahaya seperti itu, San. Sebaiknya... kita lupakan saja hal itu. Supaya... supaya... kita dapat hidup tenang seperti biasanya, San!" "Tapi kenapa kamu kelihatan gugup saat ini, Ron?" "Hmmmm, hmmm... gugup sih nggak, aku Cuma agak bingung. Soalnya, antara ingat dan lupa, kayaknya aku pernah mendengar cerita tentang hujan cahaya seperti itu, tapi .... tapi entah siapa yang pernah menceritakan hujan itu padaku? Bisa-bisa ibuku sendiri yang pernah bicara tentang hujan seperti itu. Tapi. . mungkin bukan ibuku Pamanku, misalnya. Atau .. aah, nggak tahulah.. !!" Buron tampak kesal dengan ingatannya sendiri. Tapi ia juga kelihatan memburu rasa ingin tahunya. Sementara itu, Sandhi hanya memperhatikan dengan batin bertanya-tanya penuh keraguan. "Dia benar-benar nggak tahu, atau pura-pura tahu tapi lupa beneran? Ah, bingung juga aku menyimpulkannya. Tadi pun kelihatan serius sekali, tapi ternyata tadi dia cuma ngaco! Jangan-jangan sekarang pun dia sengaja membuatku terpengaruh oleh actionnya dan menjadi penasaran sampai menjadi gila gara-gara lagaknya?!" Sandhi tidak mau terkecoh lagi. la berusaha untuk tidak peduli lagi tentang hujan cahaya itu. Tetapi sebelum keduanya sama-sama tertidur, Sandhi mendengar Buron bicara sendiri, seolah-olah membuat suatu keputusan yang harus ditaati oleh dirinya. "Aku harus menemui Emak dan menanyakannya. Kalau perlu sekarang juga aku pulang ke tempatku, supaya bisa cepat-cepat mendapat keterangan dari Emak. Kurasa Emak pasti tahu soal hujan cahaya itu. Hmmmm... ya, aku harus pulang!" Sandhi yang tidurnya memunggungi Buron, mulai curiga terhadap kesungguhan sikap anak Jin Ganjarlangu itu. Tapi ia juga merasa khawatir jika malam itu ditinggalkan Buron sendirian Maka, secepatnya ia berbalik arah dan bangun dari posisi berbaringnya. "Hey, luh jangan bikin aku... " Sandhi terbengong melompong. "Ron. !! Buron...?! Buroon...?!" Ia berseru memanggil dengan nada tegang, sebab saat itu ternyata Buron sudah tidak ada di tempat tidur samping. Buron sudah hilang secara gaib, pergi ke alam kehidupan bangsa jin. Sandhi kian berdebar-debar ngeri, karena dengan perginya buron praktis ia hanya sendirian di kamar itu. Padahal ia ingat, bahwa malam itu adalah malam Jumat Kliwon, hari ketiga belas dari bulan Sura. Alangkah getir dan cemasnya hati Sandhi dalam keadaan dibayang-bayangi kengerian dari sebuah misteri yang baru saja hadir mencekam kehidupan malam Jumat Kliwon itu. Apa yang harus ia lakukan jika sampai terjadi sesuatu yang mengerikan, sementara dirinya jauh dari Buron dan jauh dari Kumala Dewi? Ia sendiri tak tahu, mengapa kini bulu kuduknya Sudah tiga kali meremang merinding, dan keringatnya mengucur deras sementara AC di kamar itu dalam keadaan tetap bekerja sebagaimana biasanya? Benarkah keringatnya itu adalah keringat dingin dari perasaan takut yang dipendam kuat- kuat, atau memang udara malam menjadi panas akibat hujan cahaya tadi? "Dasar jin gila! Pergi seenaknya, tanpa pamit! Brengsek!" Sandhi menghibur ketakutan hatinya dengan kecaman dan makian secara beruntun, terus menerus, sampai ia lelah dan segera tertidur sebagaimana yang diharapkan. Tetapi, ternyata ia justru sulit tidur dan selalu berdebar-debar sangat tersiksa. 2 TIDAK semua orang yang berdebar-debar selalu merasa tersiksa batinnya. Debar-debar itu bisa saja menghadirkan kebahagiaan batin yang tidak mudah ditengarai oleh pihak lain. Debar-debar pribadi yang sengaja dirahasiakan serapi mungkin. Ungkapan rasa suka itu cenderung banyak dialami oleh mereka yang berlainan jenis, dan masih memiliki naluri kemesraan. Paling tidak, dialami oleh mereka yang berjiwa romantis. Salah seorang lelaki yang mempunyai jiwa romantis dan gemar menjalani petualangan cinta adalah Brano. Pria berusia 33 tahun yang masih belum mau berkeluarga itu pernah menjalin hubungan intim dengan Richa sampai satu tahun lebih lamanya. Brano bukan saja pria ganteng berpenampilan trendy, tapi ia juga seorang eksekutif muda yang cukup berhasil dalam karirnya. Tentu saja ia juga menjadi incaran kaum. wanita, yang rata-rata akan berdecak kagum jika melihat Brano turun dari sedan mewahnya itu. Banyak perempuan yang menaruh simpati pada Brano dan berusaha menjerat hatinya. Hanya sayangnya, sampai detik ini Brano masih ingin menikmati kehidupan sebebas-bebasnya, tanpa ada ikatan tali perkawinan dengan siapa pun. Selera keromantisan Brano akan mulai terkikis manakala wanita yang sedang dikaguminya itu tiba-tiba mengajaknya bicara tentang masa depan, serta mulai menuntut nilai-nilai kehidupan berumah tangga. Putusnya hubungan dengan Richa pun dikarenakan oleh tanda-tanda kebebasan yang akan terbelenggu. Brano mulai menangkap gelagat tak baik dari Richa yang dirasakan ingin menguasai dirinya. Padahal Richa hanya ingin menguasai finasilnya. Bukan orangnya. Sebab, dalam diri Richa pun terdapat jiwa petualang cukup besar. Ketika ia menyadari bahwa Brano mulai berusha menjauhinya sedikit demi sedikit, ia sudah lebih dulu pindah ke pelukan lelaki lain. Richa tak sempat sakit hati kepada Brano. karenanya, meski jarang bertemu namun sedikitnya sebulan sekali mereka saling menyapa melalui handphone masing-masing. "Ada di mana ini kamu, Bran?" "Lagi jemput mama di bandara. Kamu ada di rumah, Cha?" "He, eh... , "jawab Richa bersuara agak parau, seperti bani bangun dari tidur siangnya. "Bran, nanti malam kau punya acara?" "Kalau nanti mamaku jadi pulang hari ini dari Melbourne, kemungkinan besar nanti malam aku harus menemani mama di Bogor. Tapi, bisa juga mama nggak jadi mengunjungi rumah paman hari ini. Bisa besok sore baru minta diantar ke sana. Ada apa sih?" "Angela, ceweknya Pieter, nanti malam mengadakan pesta ultahnya. Kita berdua diminta datang ke pesta itu. Dia pikir aku masih sama kamu. Makanya, dia ngotot mendesakku supaya hadir bersama kamu, Bran. Bagaimana menurutmu?" Brano tertawa kecil, terkenang masa lalunya bersama Richa. Wajar jika Angela dan beberapa orang yang jarang bertemu masih menyangka Brano adalah kekasih Richa, atau sebaliknya. Anggapan seperti itu muncul dalam benak mereka, karena perpisahan Brano dengan Richa memang tidak menimbulkan pertengkaran yang hebat. Saling tidak menyebarluaskan keretakan hubungan tersebut. Bahkan keduanya tak pernah saling menjelek-jelekkan mantan pasangan mereka, sehingga di mata orang lain hubungan intim mereka tak ada masalah. Dianggap masih baik-baik saja. "Boleh juga sih kalau memang menurutmu kita pantas menghadiri undangan Angela itu, Cha. Tapi... sekarang aku belum bisa memastikan; bisa atau tidak. Nanti kukabari lagi deh. Okey?" iftgzUSE>e0TTT Siang makin redup. Bukan saja karena sudah pukul tiga menjelang sore, tapi juga cuaca mulai tampak tak beres. Mendung tebal berarak-arakan dari langit utara. Tampaknya mendung tebal akan singgah di kota, menjadi payung hitam yang membentang seluas wilayah Jakarta dan Jabotabek-nya. Dan, saat itu Brano sudah mulai bersiap-siap menunggu kabar menunggu kedatangan pesawat dari Australia. Namun sampai beberapa saat ternyata belum ada informasi dari pihak bandara tentang pesawat yang ditunggu-tunggu itu. Ia mulai mondar- mandir dengan menahan kegelisahannya di depan pintu keluar yang akan dilalui para penumpang nanti . Di seberang sana tampak sebuah kantin bersih dan sepi tamu. Hanya ada tiga orang tamu yang duduk di dalam kantin berukuran cukup lega itu. Sambil menunggu informasi tentang kedatangan pesawat dari Melbourne, tak ada salahnya jika Brano menikmati secangkir kopi, yang merupakan hidangan spesial dan dibanggakan oleh kantin bernama: Robusta House itu. Letaknya pun tak begitu jauh dari pintu keluar penumpang. Sekitar sepuluh langkah. Sambil menunggu minuman yang dipesannya disajikan, Brano menyalakan sebatang rokok yang sebenarnya kurang disukai. Ia memang bukan seorang perokok berat. Tapi dengan sebatang rokok di tangan, nilai kejantanannya sebagai seorang lelaki bertambah semakin nyata. Semakin menarik simpatik lawan jenisnya. Hal itu sudah terbukti berkali-kali, termasuk pembuktian kali ini. Seorang gadis yang kebetulan melintas di jalanan depan Robusta House itu, sempat memalingkan wajahnya memandangi Brano yang duduk dengan santainya, dan sebatang rokok dihisapnya dengan gaya yang menawan Brano menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh gadis berambut cepak dengan busana terkesan formil. Dilihat dari warna jas dan span yang dikenakan, agaknya gadis itu seorang karyawati sebuah perusahaan yang memiliki seragam kantor bercorak lembut dan profesional. "Cantik juga itu orang?" gumam hati Brano saat pandangan matanya beradu dengan lirikan mata gadis tersebut. Sayang sekali si gadis yang punya wajah mirip Demi Moore itu cepat berlalu dan menghilang di antara langkah-langkah para pengunjung bandara, sehingga kecantikan wajahnya sulit ditemukan kembali oleh tatapan mata Brano. Seandainya belum terlanjur memesan secangkir kopi panas, mungkin Brano tak akan ragu-ragu untuk meninggalkan kantin tersebut, dan bergegas memburu gadis cantik tadi. "Ah, buat apa dipikirin? Biar sajalah. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan kecantikan yang setara dengan gadis itu tadi," pikir Brano sambil sedikit bergeser ke samping karena pelayan datang menyajikan minuman pesanannya. Ia berusaha melupakan wajah cantik tadi dengan menghirup kopi panas yang memiliki aroma khas itu. "Kalau nggak salah aku pernah nongkrong di tempat ini sama si Alex. Hmm . ya, memang di sinilah waktu itu aku. dan Alex menunggu kedatangan Thania, ceweknya Alex yang manja itu. Aku ingat waktu itu aku dan Alex duduk di bangku depan situ, lalu Alex bergegas menuji: pintu keluar penumpang yang baru datang. Dia sangka Thania sudah datang dari Hongkong. Ternyatagadis yang disamperin Alex itu bukan Thania. Cuma mirip sekali dengan Thania. Ohh, aku masih geli kalau ingat bagaimana malunya Alex menyembunyikan mukanya atas kekeliruan itu. Lucu sekali adegan itu..'.!"' Senyum tipis di bibir Brano mengalami ketidak pastian, dan percakapan dalam hatinya pun terputus seketika, karena pada saat matanya memandangi handphone yang ingin dipakai untuk menghubungi teman dekatnya itu, tiba-tiba sebuah suara lembut menyapanya dari arah samping kanan. Brano sempat terkejut mendengar sapaan yang tak diduga-duga itu. Lebih terkejut lagi setelah pandangan matanya menemukan sebentuk keindahan dan kecantikan yang sangat tak disangka-sangka kemunculannya. "Maaf, boleh saya mengganggu Anda sebentar?" "Oh, ehm, hmm, ya... ada apa, Nona?" "Apakah Anda temannya Alex, sepupu saya?" "Alex Wimmora, maksud Anda?" "Ya, betul. Sebab saya sepertinya pernah melihat Anda bersama Alex di tempat ini beberapa waktu yang lalu." "Oh, ya... benar Jadi... hmm, silakan duduk! " Brano berseri-seri kegirangan menerima kedatangan gadis cantik yang tadi sempat melintas di depan kantin tersebut. Rupanya gadis yang tadi sempat mengganggu perhatian Brano itu segera kembali melintas di depan kantin. Tanpa canggung sedikit pun ia menghampiri Brano yang diyakini akan menerima kehadirannya dengan senang hati. Buron memang merasa senang melihat gadis itu sudah ada di depan mata. Lebih senang lagi setelah mendengar nama Alex disebut-sebut sebagai saudara sepupu gadis itu. Sebelumnya Alex tak pernah menceritakan sepupunya yang cantik dan sangat menawan itu. Mungkin karena Alex merasa takut jika sepupunya menjadi mangsa keromantisan Brano yang sering dicap sebagai playboy krismon itu, maka selama ini ia tak berminat memperkenalkan sepupunya kepada Brano. Mengumpat kecil hati Brano kepada Alex yang sudah hampir sebulan ini tak pernah bertemu dengannya, "Baru saja saya mau menghubungi HP nya Alex, tahu-tahu Anda sudah muncul lebih dulu. " "Percuma saja. Nggak akan nyambung. Sudah empat kali sejak 30 menit belakangan ini aku menghubungi dia, tapi sepertinya dia punya HP nggak diaktifkan." "O, ya...? Tapi rasa-rasanya perlu kucoba. Siapa tahu dengan HP-ku dia bisa kuhubungi. Soalnya... aku butuh keterangan dari Alex tentang siapa nama sepupunya yang punya wajah mirip Demi Moore ini. " Senyum di wajah tampan Brano makin berseri-seri, menandakan hatinya sedang diliputi kegembiraan cukup besar, karena saat itu ia sedang berada di depan si cantik yang dikagumi tadi. Diplomasi dalam kata-kata Brano tadi membuat gadis itu tersenyum malu, karena mengerti maksud sindiran Brano yang ingin saling memperkenalkan nama masing-masing . "Kalau cuma kepingin tahu namaku, nggak usah tanya Alex. Dia pasti nggak mau bilang apa-apa kalau situ menyebutkan nama Zerra. " "Memang kenapa?" "Sebab, dia sedang kesal padaku Karena aku dianggap tak bisa menepati janji. " "Zerra... ? Oooo...," Brano manggut-manggut semakin senang, karena secara tidak langsung gadis berdada sesak itu telah memperkenalkan namanya: Zerra. Cukup unik dan menarik nama itu bagi Brano. Mudah meresap kedalam memory otaknya. Maka, sebagai balasannya Brano pun memperkenalkan namanya tanpa diminta oleh Zerra. Perkenalan itu mempunyai keindahan dan kebahagiaan tersendiri di hati Brano. Zerra yang supel dan pandai memancing perhatian itu telah membuat hati Brano berdebar-debar dalam keromantisan. Mereka mudah menjadi akrab dalam tempo relatif singkat. Brano mulai merasa terpikat dan bergairah sejak Zerra sering menatapnya dengan tatapan yang menantang. "Percuma saja kau tunggu pesawat yang membawa namamu itu. Mereka tak akan datang hari ini. " "Sok tahu kau ini! " seraya Brano tertawa kecil. "Percayalah mamamu nggak akan datang hari ini. Biar kamu tunggu sampai besok subuh pun nggak akan datang!" "Alasannya?" "Pilotnya ternyata menderita penyakit phobia. Takut pada ketinggian," jawab Zerra sambil tertawa geli, membuat Brano menjadi gemas, ingin sekali mencubit pipinya yang halus mulus berhidung mancung agak runcing itu. "Mendingan kita pulang saja, yuk? Aku sendiri nggak betah kalau harus berlama-lama di tempat ini," tambah Zerra. "Lalu, bagaimana dengan orang yang harus kau temui itu?" "Mungkin dia sudah pulang. Pihak kantorku akan mengambil sikap tegas terhadap orang travel yang tugas di sini itu. Kalau ternyata dia tidak ada di tempat sampai jam segini, berarti dia sengaja menghindari pertemuanku dengannya. Sebab, tadi pagi kami sudah sepakat untuk menyelesaikan masalahnya dan dari kantor menugaskan aku sebagai wakil yang akan menyelesaikannya." "Oooo...," Brano manggut-manggut sambil mempertimbangkan langkahnya apakah ia harus mengikuti saran Zerra untuk segera pulang bersama gadis itu, atau tetap setia menjemput mamanya meski pun itu berarti ia akan kehilangan peluang indah yang ditawarkan Zerra? Brano sempat resah. Gadis itu sepertinya punya daya tarik melebihi magnit kutub utara, sampai-sampai nilai kesetiaan Brano terhadap mama yang dicintainya itu nyaris luntur, karena tergiur untuk dapat pulang bersama Zerra. "Kalau kamu nggak mau pulang sekarang, ya sudahlah... aku pulang duluan aja," kata Zerra bernada kecewa, tapi seolah-olah ia menutupi kekecewaannya itu dengan senyum tipis. Hal itu semakin membuat Brano serba salah. Bingung ..menentukan sikap. Ragu menetapkan keputusannya; menemani Zerra pulang dan membiarkan mamanya nanti datang tanpa jemputan, atau membiarkan Zerra pulang sendiri dan tetap menunggu sang mama? Dalam keadaan sedang bingung memutuskan pendiriannya tahu-tahu handphonenya berdering. Ternyata telepon itu datang dari mamanya. Brano mendapat kabar bahwa pesawat yang ditumpangi mamanya terpaksa mendarat di Surabaya secara darurat. Hal itu disebabkan oleh buruknya cuaca saat ini Hujan deras bercampur badai kabut telah membuat penerbangan tersebut terancam bahaya, sehingga diputuskan untuk mendarat sementara di sana. Pesawat akan take-off kembali setelah cuaca kembali normal. "Kira-kira satu jam lagi kami baru bisa take-ofF, Bran." "Begini saja, Ma... daripada menunggu terlalu lama, lebih baik Mama singgah dulu di rumah Kak Rossy. Bermalamlah dulu di sana, besok baru melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sekalian mintalah Kak Rossy atau siapa saja agar mengantarkan mama sampai sini." Meski pun mamanya menolak saran tersebut, tapi Brano mendesak terus hingga akhirnya sang mama menerimanya. Usaha itu dilakukan Brano supaya dia dapat pulang bersama Zerra saat itu juga. Tentunya bukan hanya Brano yang merasa lega karena telah berhasil membujuk mamanya, tapi Zerra juga tampak senang sekali karena Brano bersedia pulang bersamanya. Kegembiraan hati Zerra dapat dilihat oleh Brano lewat ekspresi ceria gadis itu, sehingga Brano menjadi bertambah bangga sebagai orang yang dapat memenuhi keinginan Zerra. Sebelum mobil mereka bergerak meninggalkan bandara, Brano terpaksa turun dari mobil sebentar. Zerra tetap duduk di tempatnya. Mesin mobil dibiarkan hidup, karena Brano merasa hanya beberapa detik saja sudah akan kembali masuk-ke mobilnya. Zerra memperhatikan Brano yang berjalan mengendap-endap mendekati sebuah mobil yang diparkir di depan mobilnya. Mobil itu memunggungi Brano dan pengemudinya baru saja turun. Lalu mengemasi beberapa barang yang akan ikut dibawanya turun pula. "Hoyy...!" sentak Brano dari belakang. Pria muda yang baru turun dari mobil terlonjak kaget. Brano tertawa ngakak sementara teman yang sengaja dikageti itu bersungut-sungut menahan tawa malu sambil menggerutu berkepanjangan. Akhirnya ia tertawa juga. Geli sendiri. Mereka seperti teman sekolah yang sudah lama tak saling bertemu. Namun keduanya segera menjaga sikap agar tak terlalu kampungan dalam melampiaskan rasa kangen di situ. "Kau masih di alamat yang dulu kan, Bran?" "Masih dong. Kapan kau mau mampir ke rumah, atau singgah ke kantorku? Oh, ya... nomor HP-ku udah ganti yang baru lho. Nih... " Setelah memberi kartu namanya yang baru, sesuai dengan nomor HP yang sekarang digunakan, Brano tergesa-gesa untuk kembali ke mobilnya, sementara sang teman masih ingin memperpanjang pertemuan mereka itu. "Buru-buru amat sih? Mau ke mana kamu?!" "Aku di tunggu itu tuh...!" Ia menunjuk Zerra yang tampak agak kesal ditinggal sendirian di dalam mobil. Wajah cantik Zerra dapat dilihat dengan jelas oleh teman Brano, karena posisinya menghadap ke arah mereka berada. "Sorry, aku harus pergi dulu sekarang juga!" tambah Brano. "Hey, ingat... jangan sampai kamu dipecundangi perempuan model apapun, Bran!" Pria muda berpenampilan eksklusif santai itu akhirnya hanya bisa geleng-geleng kepala, sambil memandangi kepergian Brano dan gadis cantik di sampingnya. "Gila perempuan dia itu! Tiada hari tanpa perempuan baginya. Benar-benar donjuan legendaris tuh orang...!" gerutu temannya dengan kesan antara kagum bercampur prihatin, karena Brano masih belum ada perubahan juga dalam perangai kesehariannya. "Pasti cewek itu dibawanya ke hotel!" tambah bantin teman Brano. "Tapi kenapa perasaanku jadi nggak enak setelah melibat cewek itu? Sepertinya ada sesuatu yang membuatku mencemaskan diri Brano? Hmmm.. ada apa ini sebenarnya?! Biasanya aku nggak punya perasaan cemas kayak begini kok?! Aneh sekali?!" Langit sore dipandangnya. Makin gelap, makin tebal mendungnya. Angin berhembus, kencang, membawa uap dingin sebagai tanda-tanda akan tuam hujan beberapa saat lagi. Pria muda berpenampilan rapi itu sempat bertanya dalam hatinya, apakah Brano juga akan memanfaatkan cuaca hujan sebagai motivasi rayuannya kepada Zerra? Dan, apakah gadis itu dapat lolos dari incaran asmara Brano yang terkenal ahli menjinakkan hati wanita sedingin apapun itu? -o0o))((dw))((o0o- Pukul lima sore sudah seperti pukul enam petang lebih. Gelap dan dingin. Hujan benar-benar turun dengan deras. Ketebalan mendung dan kabut hujan nyaris tak sanggup ditembus oleh cahaya mentari sore. Jalanan menjadi padat. Di mana-mana terjadi kemacetan. Air menggenang cukup tinggi, membuat banyak mobil yang mogok akibat terendam banjir langganan itu"Oh, lihat itu...?! Ya, ampun... aneh sekali?! Kenapa bisa sampai begitu, ya?!" ujar Brano dengan sangat terheran-heran ketika hendak melintasi genangan banjir di depan sebuah hotel. Zerra terbengong tak bergeming menatap hotel yang dituding Brano tadi. Mungkin karena terheran-herannya begitu besar, sehingga Zerra tak bisa berkomentar apa-apa melihat keanehan tersebut. Atau, mungkin dia tertegun diam karena menyimpan sesuatu yang mencurigakan tentang Planet Hotel itu. Bukan hanya Brano dan Zerra yang memandangi hotel tersebut dengan heran, tapi setiap orang yang melintasi di bundaran depan hotel itu akan menatap dengan terheran-heran dan saling mengomentari keganjilan yang terjadi di sana. Betapa tidak? Planet Hotel adalah hotel berbintang empat memiliki 17 lantai. Bangunan megah itu memiliki jembatan penyeberangan yang khusus untuk menuju ke sebuah pusat perbelanjaan bergengsi, yaitu Planet Plaza. Keduanya memang berada satu kompleks hunian dan perbelanjaan yang luasnya sekitar 2 hektar lebih. Dikelilingi oleh pagar rendah yang dapat dilangkahi seseorang jika orang tersebut ingin pindah dari areal plaza ke areal perhotelan. Sekeliling tempat tersebut dalam suasana terang benderang, karena semua lampu dinyalakan, seperti vang terjadi pada setiap malamnya. Tetapi yang membuat setiap orang memandang kagum dan terheran-heran bukan suasana terang benderang itu, dan bukan pula kemewahan dari arsitektur hotel tersebut, melainkan karena keganjilan yang sulit diterima akal sehat. Dalam cuaca seburuk itu, di mana hujan turun cukup deras, jalanan digenangi air, dan angin berhembus cepat berubah-ubah arah, ternyata Planet Hotel merupakan satu-satunya tempat tak terjamah oleh air hujan. Bangunan bertingkat dengan bentuk menyerupai huruf V itu dalam keadaan kering kerontang Halaman parkir di samping dan depannya juga kering dan sedikit gersang. Pagar rendah itulah batasnya. Lewat dari pagar rendah yajig berfungsi sebagai penghias taman, semuanya dalam keadaan basah dan bahkan kebanjiran Bahkan perbelanjaan Planet Plaza yang ada di sampingnya itu dalam keadaan terguyur air huj m seperti bangunan lainnya. Tempat parkir di depan plaza digenangi air juga, seperti jalanan di depannya. Praktis hotel itu menjadi tontonan bagi mereka yang berada di sekitar tempat tersebut. Siapa pun yang ingin menghindari hujan dapat meneduh dengan cara memasuki halaman hotel Ia tak akan terkena air hujan setetes pun dengan berdiri di halaman hotel tanpa payung atau atap di atasnya. "Luarbiasa...?!" gumam Brano sambil geleng-geleng kepala. "Aku jadi ingin masuk ke dalam hotel itu dan mencari tahu, apa yang membuat hujan tak menyentuh bangunan tersebut, Zer. Bagaimana menurutmu kalau kita singgah sebentar di hotel itu?" "Hmm, eeh... nggak usah deh," Zerra menjawab dengan kikuk dan seperti masih menyembunyikan, kecemasan dalam hatinya. "Sebentar saja. Kita nikmati sesaat keanehan yang ada di hotel itu. Mumpung keajaiban ini terjadi. Sebab, bukankah biasanya hotel ini juga ikut digenangi air dan menjadi basah kuyup jika hujan turun sederas ini? Tapi kenapa sekarang hotel itu bisa terlindung dari guyuran air hujan begitu?" "Ya, memang aneh sekali. Tapi .. tapi menurutku sih... " "Di lobby dalam sana ada coffee shop yang nyaman untuk beristirahat sejenak. Kita santai sebentar di sana sambil mencari jawaban dari keganjilan itu, ya?" Brano bersifat memaksa Halus sekali caranya. Zerra merasa akan sia-sia jika ia melakukan penolakan, sehingga diputuskan untuk menerima tawaran Brano itu. Zerra pun buru-buru membuang seluruh kecemasan maupun kekakuan sikapnya tadi, supaya ia bisa kelihatan ceria dan mempesona di mata pria setampan Brano. Maka, ketika mobil Brano memasuki areal parkir hotel di lantai bawah, tak ada protes sedikit pun yang keluar dari mulut Zerra. Ia sepertinya tak ingin membuat Brano kecewa dan takut kehilangan simpati dari pria yang tadi sudah berani menyentuh pahanya dengan nakal. Sentuhan itu punya arti sendiri bagi Zerra, dan ia paham betul dengan arti kenakalan kecil tersebut. "Sudah sering kemari kamu, ya?" tuduh Zerra memancing reaksi Brano. Yang dipancing justru tertawa sekedarnya sambil menuju tangga yang akan membawa mereka ke ruang lobby samping. "Sering sih nggak juga. Cuma... ya, memang pernah beberapa kali aku kemari. Dan... " "Pasti dengan perempuan idamanmu, bukan?" "Ah, siapa bilang begitu?" "Alaa.. ngaku ajalah," Zerra mencubit lengan Brano. "Mana ada cowok kayak kamu datang ke hotel ini cuma sendirian, nggak membawa perempuan idaman? Omong kosong itu!". "Maksudku, tidak semua perempuan yang dibawa kemari adalah perempuan idaman. Ada juga yang bukan perempuan idaman tapi dibawa kemari, misalnya... perempuan hiburan," Brano tertawa menunjukan candanya, sehingga kata-katanya tidak dianggap serius oleh Zeita. Harapannya dapat mengalihkan kecurigaan Zerra berhasil, karena gadis itu segera tertawa geli seraya memukul lengannya. Selanjutnya tangan itu menggenggam lenganBrano tanpa canggunglagi. Mesra dan bahagia tampaknya "Wow...??!" tanpa sadar Brano tersentak kagum. Pandangan matanya ditujukan ke sebuah lift pada lobby tersebut. Mata itu melebar, langkahnya terhenti seketika dan mulutnya ternganga melongo. Brano sedang terpesona pada seraut wajah cantik yang baru keluar dari lift. Seraut wajah cantik jelita itu milik gadis muda yang mengenakan busana pesta yang cukup gemerlap. Pakaian daerah Jawa yang dikenakan oleh gadis bermata seindah berlian itu telah membuatnya seanggung seorang ratu yang punya kharisma cukup besar Ia juga memiliki senyum lesung pipit yang sangat indah dan mengagumkan . Bukan hanya Brano yang terpesona pada gadis itu, namun beberapa orang yang ada di lobby dan yang sedang membicarakan masalah keganjilan hujan di hotel itu juga segera mengarahkan pandangan matanya ke depan lift. Gadis cantik jelita itu terhenti langkahnya karena berpapasan dengan dua orang rekannya yang juga berpakaian pesta gaya barat, dan ia harus bertegur sapa dengan kedua orang tersebut. Keramahannya tampak jelas melalui senyum dan caranya bicara kepada kedua tamu eksklusif itu. "Ayo, lekas jalan, Bran! Ngapain sih kamu?!" sergah Zerra sambil menarik tangan Brano dengan sentakan yang agak kuat. Sentakan itu menunjukkan bahwa Zerra tak suka melihat Brano terkagum-kagum kepada wanita lain. Ia tampak terburu-buru membawa Brano pergi dari lobby tersebut, seolah-olah di hati Zera telah tumbuh rasa cemburu atas sikap Brano itu. "Tunggu, Zer...! Tunggu... aku ingin..." "Buruan dong, katanya mau ngajak ke coffee shop?! " desak Zerra. "Iya, tapi... tunggu sebentar. Lihat gadis berpakaian seperti ratu kecantikan sejati itu! Dia..." "Itu tandanya dia sedang menghadiri sebuah pesta! Begitu saja kok heran sih kamu?!" Zerra bersungut- sungut sambil tetap menarik tangan Brano agar berjalan lagi. Zerra tak memberi kesempatan, sehingga Brano mengeluh kecewa sewaktu berhasil dibawa pergi dari lobby yang ramai tamu itu. Para tamu yang ada di lobby bukan hanya mereka yang ingin melihat keanehan hujan di sekeliling hotel tersebut, tapi juga sebagai tamu yang menunda rencana pulangnya karena di seberang hotel hujan masih turun dengan deras. Tamu-tamu berpakaian resmi itu tampaknya baru saja menghadiri resepsi perkawinan yang diadakan di Ballroom Planet Hotel itu. Agaknya sepasang mempelai yang disandingkan di pelaminan adalah berasal dari keluarga terhormat, sehingga tamu-tamunya pun adalah bukan orang sembarangan. Mereka terdiri dari pada public figur, para selebritis, dan para eksekutif papan atas. Salah satu publicfigur yang sangat dikenal di kalangan atas adalah gadis cantik jelita berpakaian adat Jawa itu. Tubuhnya yang langsing, sintal dan elok itu sangat identik dengan sosok gambaran seorang ratu kecantikan dunia. Begitu pula wajahnya yang berhidung mancung, berbibir sensual ranum, dan bermata seindah berlian termahal di dunia itu, ternyata sangat Sesuai dengan bayangan rupa cantiknya sang bidadari. Dan, aroma wangi yang tersebar dari tubuhnya hingga radius tertentu masih dapat tercium jelas wewangiannya itu, adalah ciri-ciri istimewa yang dikenali orang banyak, bahwa gadis itu sebenarnya memang sosok bidadari asli dari Kahyangan. Dia tak lain dari si paranormal cantik dari alam dewa- dewi yang dikenal dengan nama: Kumala Dewi, alias si Dewi Ular. Dia benar-benar bidadari Khayangan, karena terlahir dari ayah dewa dan ibunya adalah dewi alias bidadari, yaitu Dewa Permana dan Dewi Nagadini. Maka, bagi yang sudah kenal betul dengan pribadi gadis jelita itu, ia tak akan merasa terheran-heran lagi terhadap keanehan yang terjadi di lingkungan Planet Hotel tersebut. "Pantas hujannya tak mau menyentuh hotel ini, karena ternyata di sini ada Kumala sih! Dia pasti punya kesaktian tersendiri yang dapat dipakai untuk menyingkirkan hujan dari hotel ini!" Beberapa dari mereka sempat menggumam begitu kepada yang lain. Meski bagi orang yang belum tahu siapa Kumala sebenarnya, ia tak mudah mempercayai pendapat seperti itu, tapi bagi yang sudah tahu betul tentang kepribadian Kumala tak akan ragu sedikit saja dengan persepsinya sendiri. Mereka akan sangat percaya, bahwa Kumala Dewilah yang telah membendung hujan agar tak mengguyur hotel tersebut, lantaran di hotel itu ada kerabatnya yang sedang mengadakan pesta pernikahan putra atau putrinya. "Lho, resepsinya kan belum selesai, kok udah mau pulang sih?" tegur salah seorang tamu yang mengenal siapa Kumala Dewi sebenarnya. "Oh, bukan ingin pulang kok. Cuma, mau ambil sesuatu di mobilku. Habis, dari tadi aku sulit mencari Sandhi, sopirku itu!" "Eh, tapi... ngomong-ngomong apa benar kamulah yang.membuat hotel ini tak terjamah sedikit pun oleh sang hujan, Kumala?" "Yang jelas hujan ini bukan hujan sembarangan, jadi perlu dicegah kehadirannya supaya kedua mempelai tidak mengalami sesuatu yang membahayakan jiwa mereka." "Bukan hujan sernbarangan, baga-nana sih maksudnya?" "Hujan kiriman," bisik Kumaia. "Tujuannya cuma ingin membuat upacara perkawinan ini gagal total, dan beberapa dari kami terkena musibah yang dapat memalukan, sekaligus mengecewakan pihak keluarga kedua mempelai sendiri" "Ooo... gitu?!" orang tersebut manggut-manggut sedikit tertegun mendengar rumor yang diyakini bukan sekedar isapan jempol belaka. Menurutnya, wajar saja jika Dewi Ular yang sudah kembali dari Swedia empat hari yang lalu kini ikut membantu pihak keluarga kedua mempelai karena Kumala punya hubungan baik dan sangat dekat dengan keluarga mempelai. Tanpa diminta pun Kumala Dewi akan melakukan perlindungan secara magis terhadap keluarga mempelai, sebab kakak dari mempelai wanita adalah kakak angkatnya Kumala sendiri. Pramuda punya hajat. Adiknya, yang bernama Renna, kini telah siap untuk membangun rumah tangga bersama seorang pria muda sebayanya yang ternyata berasal dari keluarga bangsawan. Repotnya Pramuda adalah repotnya Kumala juga, sebab di samping Pram adalah kakak angkat Kumala, ia juga boss perusahaan besar yang dikelolanya bersama-sama dengan Kumala. Renna sendiri sudah menganggap Kemala seperti saudaranya sendiri, sehingga Kumala sangat menjaga betul kesehatan maupun keselamatan Renna sekeluarga. Maka, jika kali ini ada pihak yang berusaha ingin menggagalkan perkawinan Renna karena emosi kecemburuan dan kekecewaannya terhadap; perkawinan tersebut, Dewi Ular segera bertindak memprotek sekeliling hotel dengan kesaktiannya yang sering mencengangkan massa itu. "Mal, hentikan sensasimu itu!" bisik Pramuda mengomentari keajaiban yang terjadi. "Nggak enak sama tamu-tamu kita, Mal. Nanti ada yang menyangka kau pamer kesaktian di depan mereka lho!" "Udahlah, tenang aja! Hujan itu urusanku: Urusanmu, temui tuh tamu-tamu yang baru datang tadi!" suara Kumala berbisik pula. "Sampai kapan kau akan menghentikan sensasimu itu sih?" "Kalau sudah butiran hujan berubah menjadi abu." "Yaah, kau ini.:.?!" Pramuda bersungut-sungut meninggalkan Dewi Ular yang hanya tersenyum lembut menanggapi teguran kakak angkatnya itu. Pramuda memang tidak, diberitahu apa maksud dari sensasi bikinan Kumala, sebab Kumala memang sengaja tidak menjelaskan alasan sebenarnya. Hal itu sengaja dirahasiakan supaya Pramuda dan pihak keluarganya tidak menjadi panik gara-gara kabar tentang kekuatan gaib yang bermaksud menggagalkan perkawinan Renna itu. Pramuda juga tidak mendapat keterangan tentang hujan gaib yang sedang bertarung melawan lapisan hawa saktinya Kumala, di mana kekuatan gaib itu akan hancur jika kalah dalam perlawanannya. Kehancuran gelombang mistik kiriman itu ditandai dengan berubahnya hujan air menjadi hujan abu di mana-mana. Sekitar dua-tiga menit lamanya. "Tapi, sepertinya ada yang lolos masuk kemari nih?!" pikir Dewi Ular. Karena ia merasakan getaran aneh dalam naluri gaibnya. Tapi berhubung ia sibuk menyambut dan menanggapi tegur sapanya para undangan, yang adalah para relasi bisnisnya sendiri dalam hal supranatural, maka kemunculan getaran naluri gaib yang mencurigakan itu justru menjadi meragukan. Setidaknya ditangguhkan dulu niatnya untuk mengenali getaran gaib milik siapa yang tertangkap oleh indera keenamnya itu ? Bahkan sempat pula Dewi Ular beranggapan, jangan- jangan gelombang gaib dan hujan kiriman itulah yang terpantau oleh radar batinnya ? Tidak semua orang bisa merasakan munculnya sebuah getaran batin yang mengandung tanda-tanda bahaya. Hanya mereka yang mampu menguasai indera keenamnya yang dapat merasakan getaran semacam itu. Sebab, menurut Kumala, getaran yang seperti desiran lembut di ulu hati itu adalah bagian dari ungkapan rasa dan naluri suci yang tak mudah diungkapkan lewat kata dan bahasa. Setiap getaran mempunyai arti yang berbeda-beda. Setiap desiran hati memiliki makna sendiri-sendiri. Seperti halnya Emafie, istri Pramuda, kala itu juga sempat merasakan desiran lembut dalam hatinya. Desiran itu punya arti kebanggaan dan keharuan Emafie terhadap adik iparnya; Renna, yang akhirnya menemukan pasangan hidupnya setelah dulu hampir bunuh diri lantaran merasa dipermainkan seorang kekasih. Emafie sangat senang dan bahagia sekali melihat Renna semakin memiliki cahaya kehidupan hingga semangat hidupnya tumbuh begitu besar. Perasaan itulah yang membuat Emafie tadi sempat berkali-kali merasakan getaran hati dalam bentuk desiran-desiran mengharukan. Berbeda lagi dengan desiran hati yang dirasakan Brano pada saat itu. Setelah ia gagal memperoleh jawaban yang pasti dari beberapa orang yang ditanya tentang keganjilan hujan di hotel tersebut, maka pusat perhatian Brano pun segera terfokus pada diri Zerra. Bukan hanya bentuk tubuh yang sexy dan dada yang sekal menantang saja yang membuat Brano semakin berpikiran tak beres, tapi juga karena gadis itu sejak tadi bicaranya semakin nakal. Dan, kenakalan canda gadis itu telah membuat api gairah bercumbu makin menyalanyala dalam diri Brano. Semakin berkobar semakin nyata getaran hati itu dirasakan oleh Brano. "Sekian banyak orang tak ada yang tahu tentang hujan aneh itu. Bagaimana kalau sampai tengah malam nanti hujan aneh itu belum reda juga, Zer?" "Terserah kamulah...," Zerra menjawab dengan tersipu-sipu. Senyumannya mengandung arti menantang dalam kepasrahan pribadi. Brano semakin berdebar-debar senang. "Kalau memang terserah padaku, bagaimana kalau kuputuskan untuk bermalam di hotel ini saja? Biar kita berdua nggak kehujanan dan masuk angin." Zerra tertawa kecil nyaris tanpa suara. "Bagaimana, Zer?" desak Brano. "Nggak mau, ah!" "Kenapa nggak mau?" "Nanti kalau kita bermalam di sini, kamu pasti minta tidur seranjang denganku. Iya, kan?" "Memangnya kenapa? Nggak mau?" "Nggak! " jawabnya berlagak tegas, tapi masih diiringi dengan senyuman dan lirikan mata yang menggoda hasrat pria mana pun yang menerimanya. Brano pun tak yakin bahwa jawaban itu adalah pernyataan yang serius. Brano lebih yakin dengan pendapatnya sendiri, bahwa penolakan Zerra adalah diplomasi dari sebuah harapan yang menyenangkan hati gadis itu. Terbukti ketika Brano membawanya check-in dan mereka mendapatkan salah satu kamar di lantai lima, Zerra toh tidak menolak atau mengajukan protes apapun. Ia hanya bicara tentang keindahan interior kamar tersebut yang menurutnya membuatnya kagum. Dalam waktu singkat kamar 892 itu pun ditutup pintunya. Brano dan Zerra ada di dalamnya. Bluuk..! Gadis bertubuh sexy itu terhempas di ranjang empuk. Suara tawanya berderai. Brano yang tadi mendorongnya, kini sudah berada di atas gadis itu. Menindihnya tak terlalu kuat. Mengurungnya dengan kedua tangan dan sebagian dadanya. "Idiih.. ngapain sih kamu, kok jadi kayak orang kesurupan begini?!" kecam Zerra dengan nada canda. "Aku sudah tak tahan lagi! " Tawa gadis itu pun mulai berhenti. Tinggal senyuman indahnya yang ada di depan Brano. "Apanya yang nggak tahan? Kenapa bisa nggak tahan? Coba jelaskan!" "Hatiku sudah nggak tahan untuk berpura-pura tidak berhasrat padamu. Kenapa begitu? Karena kamu tipe gadis yang sering kubayangkan dalam lamunanku. Jelas?" "Terus, kalau nggak tahan, mau apa?!" "Mau menyentuhmu," jawab Brano sambil tersenyum- senyum mesra. "Bukankah baru saja tadi kau telah menyentuhku, sampai aku terhempas karena doronganmu ini?" Brano menggeleng. "Aku ingin menyentuhmu dengan bibirku," bisiknya lirih agak parau. Zerra tertawa kecil sekali. "Aku menolak," kata Zerra. "Kenapa kau menolak?" "Karena aku udah terbakar api kemesraan. Kalau kau menyentuhku dengan bibirmu, maka hasrat kemesraanku akan berkobar-kobar dalam waktu singkat. Terus... kalau sampai begitu, bagaimana? Kalau sampai aku menuntut yang lebih indah dan lebih hangat dari bibirmu, bagaimana?" "Akan kupenuhi tuntutanmu. Siapa takut?!" "Hmmh...!" Zerra mencibir tipis. Tapi matanya sudah menjadi tampak sayu. Ketika mereka sama-sama diam dan menatap dalam keromantisan, pelan-pelan wajah Brano bergerak merendah, mendekati wajah cantik di bawahnya. Tangan Zerra mulai meraba pundak Brano. Gadis itu tampak sedang menunggu, mungkin dengan berdebar-debar juga. Dan, agaknya Brano tak ingin menyiksa harapan Zerra. Bibirnya menyentuh hangat di bibir Zerra. Gadis itu diam saja. Membiarkan sentuhan bibir itu semakin rapat. Ia juga memberi kesempatan kepada Brano untuk lebih sekedar menyentuhkan bibir. Ia buka peluang hangat ketika Brano menyodorkan lidahnya. Lalu, ia biarkan Brano mengecup bibir dan memagut lembut lidahnya. Dalam dua-tiga kecupan saja reaksi Zerra sudah tak bisa disembunyikan lagi. Ia menanggapi lumatan bibir Brano dengan cara membalas lumatan itu lebih lincah lagi. Ketika lumatan itu terlepas sesaat napas Zerra mendesah hangat dari mulutnya, dan aroma parfumnya semakin tajam membakar gairah Brano. "Ooohh, Braaaan...!" "Hmm...?" "Jangan berhenti, Bran. Lakukan lagi, Sayang. .. ooohh...!" Tangannya meraih tengkuk Brano, menekannya hingga kepala Brano menjadi dekat kembali dengan wajahnya. Maka, bibir sensual itu pun dilumat kembali oleh Brano dengan lebih menggelora. Agaknya Zerra menyukai gelora kemesraan Brano, sehingga ia memberikan perlawanan yang sangat agresif. Baik bibirnya, lidahnya, maupun kedua tangannya. Seolah-olah ingin menjelajahi sekujur tubuh Brano Sadar atau pun tidak, pakaian Brano menjadi berantakan. Begitu pula dengan busana yang dikenakan Zerra. "Ooouuuh, teruskan... jangan di sini saja, Sayang... Teruskan kecupanmu. Aku sangat menyukainya, Brano sayang. Oooohh...!" Zerra memekik panjang ketika Brano mengecup bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Makin lama makin keras suara Zerra memekik Keduanya sudah bermandi peluh dalam keadaan bayi yang baru lahir. Brano menggeram-geram dengan napasnya yang terengah-engah. Ia mampu membuat Zerra terpekik kembali, lebih keras dan lebih menyentak menggetarkan seluruh persendian mereka berdua. "Ooooouuuuhhh...!!" Sangat-keras jeritan Zerra di puncak kemesraannya. Sampai terdengar di tempat berlangsungnya resepsi perkawinan adik perempuan Pramuda itu. Mereka yang ada di ruang resepsi menjadi tersentak kaget dan menegang.. Suara percakapan dan tawa terhenti seketika, karena mereka mendengar suara yang cukup menggetarkan. Blegaaaarr.....!! Sebuah ledakan keras itulah yang mereka dengar, dan memang membuat lantai bergetar sesaat. Ledakan itu bagaikan mengunci mulut mereka secara serempak. Hening sesaat tercipta di ruang pesta perkawinan Renna. Entah berapa detik keheningan itu mencekam mereka, sebab setelah itu salah seorang berseru keras. "Bom ..!! Ada bom meledak di hotel ini!!" "Hahh...?! bom meledaak... ?? !" Maka, suasana pesta pun berubah menjadi hiruk pikuknya para tamu yang menjadi panik akibat ketakutan. Mereka berlarian keluar dari ruangan. Saling berdesak di pintu. Saling berteriak melontarkan emosi ketakutannya. Sementara di luar sana, hujan masih turun, namun sudah tak sederas tadi. Sudah mulai disertai dengan debu-debu halus yang membuat tanaman menjadi kotor. "Kumala... ! Ada bom meledak di lantai lima tuh...!" seru seorang rekan yang baru saja mendapat infoimasi dari para karyawan hotel yang juga saling dicekam perasaan takut, dan bergerak dengan panik. Bom itu meledak cukup keras, kuat, hingga menjebolkan pintu kamar dan menghancurkan dinding kaca yang menghadap ke arah balkon. Dinding kamar sebelah pun menjadi retak akibat kekuatan daya ledak tadi. Kumala Dewi dan beberapa seeurity hotel tertegun setelah tiba di lantai lima. Mereka memandangi kamar 892 yang nyaris hancur semua seluruh perabotnya, juga langit-langit kamar yang hampir jebol secara total itu. Di antara kepulan asap mesiu dan puing reruntuhan dinding, mereka menemukan potongan tubuh dari dua kepala saling terpisah. Kepala itu adalah kepala Brano dan tentunya yang satu lagi kepala Zerra. Sayangnya kepala itu sudah tak berbentuk lagi, sehingga sulit dikenali. "Siapa yang meledakkan kamar ini? Dan, apa motivasi peledakan ini sebenarnya?!" tanya beberapa orang sambil menutup hidung untuk mengurangi bau hangus dari daging yang terbakar. 3 WARNA duka membias dari wajah Kumala. Ia duduk di ruang kerja kepala laboratorium kriminil, didampingi oleh Sersan Burhan, Peltu Marina Swastika, Sandhi, dan mantan kekasihnya yang punya nama cukup dikenal di kalangan para pecinta acara teve bernuansa mistik itu: Niko Madawi. Mereka mendengarkan keterangan bagian laboratorium kriminil yang telah berhasil melakukan penelitian terhadap serpihan daging Brano dan gadis teman kencannya itu. Pasangan yang diperkirakan sedang berkencan itu meledak akibat sebuah bom berkekuatan besar. Dari kondisi serpihan daging korban dapat disimpulkan jenis kekuatan bom itu adalah bahan peledak yang mengandung unsur nitrogen, TNT alias Tri Netra Toluent dan campur bahan kimia lainnya. Mengenai siapa yang meletakkan bom di dalam kamar itu, pihak kepolisian belum berhasil melacak pelakunya. Diduga bom itu diledakkan dari jarak jauh dan belum tentu Brano sebagai sasaran utamanya. Bisa juga Brano hanya sebagai korban salah sasaran. "Aku kenal dekat dengan Brano," kata Niko dengan wajah sedih setelah ia mendapat kabar bahwa korban ledakan itu ternyata bernama Branoya Hansen, dan seorang gadis yang tidak dikenal identitasnya. Oleh sebab itulah ia segera bergabung dengan Kumala Dewi sejak semalam hingga siang ini. "Aku yakin bom itu ditujukan bukan untuk dirinya. Brano nggak punya musuh yang sampai sekejam itu mau menghabisinya. Ini pasti bom salah alamat!" Niko menarik napas dalam-dalam. Menekan rasa sedihnya, seperti ingin menit ikkan air mata duka. Kumala Dewi menepuk-nepuk pundaknya menenangkan emosi duka Niko sambil membisikkan kata yang tak jelas didengar Sandhi atau yang lainnya. "Bagaimana aku nggak sedih sekali, Dewi... sore sebelum peristiwa itu terjadi, aku sempat ketemu dia di bandara. Dia mau jemput mamanya, tapi karena tak jadi datang, dia pun pulang bersama gadis cantik yang... " "Kamu juga kenal dengan gadis itu?" sela Sersan Burhan yang sangat akrab kepada mereka. "Kalau nggak salah, Brano sempat menyebutkan namanya secara sekilas Namanya... Zerra. Ya, aku yakin itu nama gadis tersebut. Dan, aku yakin korban yang bersama Brano itu memang Zerra." "Darimana kau bisa berkeyakinan begitu?" tanya Kumala. "Dilihat dari serpihan pakaian mereka, aku mengenali warna pakaian yang dikenakan gadis itu, termasuk yang dikenakan Bran di bandara kemarin. Jadi, kurasa dari bandara mereka tak sempat pulang ke rumah untuk ganti pakaian, melainkan langsung ke hotel itu dan... dan mengalami nasib malang sesadis itu. Ohh, kasihan sekali nasibmu, Bran, Bran... " "Tapi , maaf..." sela salah seorang staf kriminilogi yang bertugas di laboratorium itu."... hasil penelitian kami justru menemukan suatu keanehan pada serpihan tubuh wanita tersebut." "Keanehan apa itu?" tanya Peltu Swastika yang oleh Kumala dan rekan-rekannya sering dipanggil: Mbak Mer. "Serpihan daging tubuh wanita itu justru paling banyak mengandung gumpalan nitrogen hangus, dan memiliki unsur metal, tanah, serta unsur kimia yang belum dikenal. Aneh sekali itu. Karena kami tidak menemukan jaringan serat daging atau kulit manusia, yang seharusnya ada walau pun dalam kondisi hangus begitu." "Kadar panas yang super tinggi dapat menghilangkan unsur dasar dari suatu benda atau zat tertentu, " sela Mbak Mer, mencoba menetralisir keanehan yang dimaksud tadi . Kumala Dewi hanya memandang Mbak Mer sebentar, tanpa memberi komentar apa-apa, kemudian tertegun bagaikan merenung dalam-dalam. Yang lain mendiskusikan masalah itu, terutama tentang keganjilan yang terdapat pada serpihan tubuh teman kencan Brano. Namun tiba-tiba percakapan mereka terhenti bagaikan bungkam mendadak setelah mereka mendengar Kumala berkata dengan pandangan mata datar, menerawang jauh, dan seolah-olah kata-katanya itu tidak ditujukan kepada siapa-siapa, selain kepada dirinya sendiri. "Ledakan itu bukan berasal dari sebuah bom biasa, melainkan dari sebuah bom yang belum pernah dirakit oleh ahli bahan peledak mana pun." Semua mata tertuju padanya. Hening sesaat. Kumala menyadari apa yang diucapkan baru saja tadi. ia mengangkat wajahnya, menegakkan duduknya, dan mulai memandang mereka satu persatu. Lalu dengan tegas ia menyambung ucapannya tadi tanpa ragu-ragu. "Naluriku mengatakan, ada unsur mistik di dalam kasus ini. Aku coba untuk menanganinya secepat mungkin!" Sersan Burhan menambahkan, "Yang jelas, korban ini mempunyai banyak kesamaan dengan keempat korban yang juga hancur karena ledakan bom, dua hari yang lalu." "Oh, jadi...?! " Kumala menatap Sersan Burhan dengan tajam. Ekspresi wajahnya yang sedikit terperanjat menunjukan bahwa ia belum mengetahui adanya kasus peledakan dua hari yang lalu. Maka tanpa diminta Sersan Burhan pun menjelaskan secara singkat tentang peledakan dua hari yang lalu yang terjadi di dua lokasi berbeda. Pertama di kawasan Puncak, di sebuah vilia. Yang kedua di sebuah pemukiman elite, pinggiran kota. "Kami sengaja menutup kasus itu dari kalangan pers, karena kebetulan kedua lelaki yang menjadi korban itu adalah orang yang punya nama besar, yang namanya patut dilindungi dari kasus seperti itu. Makanya, aku belum sempat mengabarimu sebelum... " "Mengapa harus dilindungi namanya? Kasus itu kan sangat sadis?" "Memang. Tapi... peledakan itu terjadi pada saat mereka dalam keadaan sedang berselingkuh dengan gadis-gadis cantik. Dan, kondisi mayat mereka, sama persis dengan kondisi mayat Brano bersama gadis teman kencannya itu." "Jejak pelakunya sudah ditengarai?" Sersan Burhan menggeleng, sedikit malu kepada KumalaDewi. "Masih dalam penyelidikan lebih lanjut," ujarnya pelan. Sopir setianya Dewi Ular, Sandhi, sudah dapat menyimpulkan bahwa kasus peledakan yang menewaskan enam orang itu memang memiliki keganjilan yang dapat disinyalir sebagai kejahatan dunia gaib. Dari tiga kejadian itu Sandhi menemukan satu kesamaan, yang juga disadari oleh Kumala dan pihak kepolisian juga, yaitu kematian korban. Mereka semua tewas dalam keadaan hancur, sepertinya saat itu korban sedang memeluk sebuah bom yang mempunyai daya ledakan sangat besar. Di samping itu, ledakan terjadi selalu pada saat korban sedang berkencan. Terbukti semua pakaian korban selalu terpisah dari tubuh mereka, meski pun pakaian itu sendiri sebagian ada yang hancur atau terlempar jauh bercampur darah yang memercik ke mana-mana. "Tampaknya ada pihak yang tidak menyukai pergumulan mesra di atas ranjang, sehingga meledakan mereka dalam keadaan sedang bercumbu. Mungkin mereka diledakkan dari jarak jauh, dengan suatu kekuatan gaib sejenis ilmu hitam." "Analisamu bisa mendekati kebenaran," kata Dewi Ular dengan mata tetap memandang ke arah depan, sementara Sandhi mengemudikan BMW hijau giok itu dengan sebentar-sebentar melirik majikannya. "Apakah menurutmu pelakunya adalah orang yang sama dengan yang mengirimkan hujan aneh di pesta perkawinan Renna itu?" "Itu hanya sebuah kemungkinan saja. Perlu kuselidiki lebih dalam lagi. Yang jelas, sejak aku pulang dari Swedia kemarin aku sudah merasakan hawa tak baik berhembus di seluruh pelosok kota ini. Aku mencoba mendeteksinya, tapi belum berhasil menemukan kepastian tentang sumber hawa gaib yang menyatu dengan udara kota Jakarta ini." Sandhi diam sebentar, kemudian bertanya, "Sebenarnya, siapa sih pihak yang mengirimkan hujan aneh untuk menggagalkan perkawinan Renna kemarin? Kau belum jelaskan padaku, Kumala." "Aku sendiri tak tahu siapa namanya, dan seperti apa orangnya. Tapi orang itu akan datang sendiri menemuiku dan meminta maaf padaku, khususnya permintaan maafnya untuk Renna dan Edwin, suaminya. Mungkin dia akan titipkan padaku permintaan maaf itu." "Kalau dia bisa menernuimu, berarti dia sudah mengenalmu dong?" "Belum. Dia hanya mengenal namaku dari mulut ke mulut, tapi belum pernah bertemu denganku. Hanya saja, hati sucinya yang merasa bersalah itu akan menuntunnya untuk bertemu denganku melalui berbagai cara, yang mungkin tak sempat terpikirkan olehnya:' Sandhi manggut-manggut sambil menggumam dalam hatinya, "Hebat. Memang luar biasa hebat kekuatan supranaturalnya bossku ini. Biasanya kalau dia sudah bilang begitu, maka sangat kecil kemungkinannya untuk gagal. Biasanya apa yang dikatakan selalu terbukti. Makanya, aku merasa sangat beruntung sekali bisa bekerja dan mendapat boss seperti dia. Selain itu, kebaikan hatinya, ketulusan jiwanya dan kepribadiannya yang menganggapku seperti saudara sendiri, tak akan ada pada diri boss lain. Tidak ada di dunia ini seorang majikan yang memiliki keluhuran budi seperti itu... "Ciiiiiiittt....! " Tiba-tiba ban mobil menjerit, Sandhi menginjak rem kuat-kuat. Kecamuk hatinya pun berhenti sampai di situ. Yang terdengar adalah suara mesin motor menderu bersama suara benda berat jatuh, membentur trotoar jalan. "Ya, ampun..,?! Bagaimana kau ini, San?! Hampir saja pengendara motor itu kau tabrak? Melamun kamu, ya?" "Hmmm, eeh... sorry. Aku memang sedikit bengong tadi," ujar Sandhi kepada Kumala Dewi dengan perasaan bersalah. "Ayo, bantu orang itu. Untung sudah dekat rumah kita?!" Meski memberi perintah begitu, tapi justru Kumala lebih dulu turun dari mobil dan menghampiri pengendara motor bebek itu. Kumala lebih dulu membantu si pengendara motor yang jatuh dan kaki kirinya tertindih stang motor. Sandhi memarkirkan mobil agar tidak mengganggu kelancaran lalulintas yang ada dijalan tikungan depan rumah Kumala itu. Hampir saja Sandhi menabrak wanita muda pengendara motor bebek tersebut. Wanita berusia sekitar 28 tahun dan sudah tampak matang dalam figur penampilannya sebagai wanita itu terpaksa jatuh bersama motornya akibat terkejut dan panik. Ia tak menyangka akan ada mobil membelok dari arah tikungan kiri, sehingga ia sempat kebingungan menjaga keseimbangan motornya sewaktu berpapasan dengan mobil Kumala. Seandainya ia tak mengendarai motor dengan ngebut, maka ia tak akan mengalami kepanikan dan akhirnya terpelanting di trotoar. "Situ punya mata nggak sih?! Mentang-mentang punya mobil bagus mau nabrak orang, seenaknya aja?!" wanita itu mengomel sambil menyeringai kesaktian. Kaki kirinya terkilir, tapi tak ada luka berarti di bagian lainnya. Motornya pun hanya mengalami kerusakan pada lampu sign-nya. Retak. Serta terdapat goresan pada bagian stang motor akibat membentur tepian trotoar. Kumala Dewi meminta maaf berkali-kali sambil membantu wanita itu untuk berdiri, la biarkan wanita itu menuduhnya sebagai orang kaya yang semena -mena terhadap rakyat kecil. Padahal ditilik dari posisi motor dan kecepatannya tadi, jelas wanita pengendara motor itu yang salah. "Maaf, Mbak... Maafkan kami. Mari saya bantu berdiri, Mbak," Kumala mengulurkan tangannya, tapi wanita muda berkulit hitam manis dan bermata membelalak galak itu menolak uluran tangan Kumala. Bahkan ketika Sandhi bermaksud membantunya juga, wanita yang mengenakan celana tanggung sebatas betis itu semakin menampakan kegalakannya "Hey, Bung...! Bisa nyopir nggak sih?! Masa ada motor mau nyeberang kok mau dihajar begitu saja?!" Gila situ, ya? !" "Ya, ampuun... galak amat sih orang ini?!" gumam Sandhi bernada geram. Kumala Dewi tetap tenang dan menampakan keramahannya. Senyumnya tak berkesudahan dengan sikap menghormati wanita tersebut. Dialah yang akhirnya berhasil menenangkan kemarahan si pengendara motor itu, dan membujuknya untuk dibawa ke rumah. "Lihat, kaki saya patah nih! Situ harus bertanggung jawab dalam pengobatannya! Bawa saya ke rumah sakit sekarang juga!" "Baik, baik. Tapi mari mampir ke rumah saya dulu. Biar nanti saya rundingkan dengan orang saya untuk membawa mbak ke rumah sakit. Mari, Mbak. . mari saya bantu jalannya...!" Kumala sendiri yang memapah si pengendara motor untuk berjalan sambil terpincang-pincang. Selain menyeringai kesakitan wanita itu tak henti-hentinya mengecam, dan memaki Sandhi yang secara tak langsung juga ditujukan kepada Kumala. Tetapi sampai akhirnya wanita itu didudukan oleh Kumala di kursi teras, tak ada sedikit pun kesan membalas keketusan dan kecaman yang dilakukan oleh Kumala. Putri tunggal Dewa Permana itu tetap ramah, sabar dan merendahkan diri serendah mungkin. "Motor saya itu juga harus diperbaiki! Biayanya situ yang tanggung. Rusak semua tuh, lihat!" "Ya, kami akan memperbaikinya, Mbak." "Kalau nggak, begini aja deh... situ kasih saya biaya untuk perbaikan. Biar saya sendiri yang membawanya ke bengkel. Soalnya saya punya bengkel langganan sendiri! Saya nggak percaya dengan hasil kerjanya orang-orang bengkel liar, kalau bukan bengkel langganan sendiri!" "Kami akan membuat motor Mbak menjadi seperti semula. Jangan khawatir mengenai hal itu. Mbak. Hmmmm... Roon.. ! Buron ..!" Kumala Dewi memanggil Buron. Pemuda berambut kucai itu baru selesai mandi sore. Waktu menghadap si cantik jelita, ia belum sisiran, sehingga rambutnya yang sepundak itu tampak acak-acakan. Pengendara motor itu memandang dengan sinis kepada Buron. "Tolong betulkan motor Mbak ini yang tadi hampir ditabrak oleh Sandhi. Bikin seperti baru, ya?!" kata Kumala kepada Buron. Lalu, terdengar suara ketus menggerutu dari mulut wanita berkulit hitam manis itu. "Montir macam itu mana bisa memperbaiki motorku?!" Hmmmh!" Buron mendengar gerutuan itu, tapi tak jelas apa kalimat yang diucapkan, sehingga ia memandangi Kumala dengan kesan bertanya apa maksud Kumala menyuruhnya memperbaiki motor tersebut. Tapi pada waktu mereka beradu pandang, Kumala tidak mengucapkan kata apapun selain mengedipkan matanya. Kedipan itu mempunyai arti tersendiri yang hanya bisa dipahami oleh Buron, Sandhi atau orang- orang dekat yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Maka, Buron pun segera menuntun motor itu masuk garasi. Spakbor depan yang tampak penyok sedikit itu sempat membentur pintu garasi, sehingga semakin lebih penyok lagi. "Aduuh.. ! Mau dikemanakan itu motor saya?! Tambah rusak lagi deh jadinya!" teriak wanita itu nyap-nyap. "Nuntun motor aja nggak becus kok mau disuruh memperbaikinya? Gimana sih kamu!" sentaknya kepada Kumala Dewi yang tetap tersenyum kalem. Anggun. "Hmmm, eeh... Mbak, kalau boleh tahu, siapa namanya?" "Missye...!" jawabnya ketus sekali. "Eh, itu motor saya bagaimana tuh..,?!" "Tenang saja, Mbak Missye... Kita tangani dulu kaki Mbak yang keseleo itu!" "Patah. Bukan keseleo atau terkilir nih!" ralatnya terlalu tampak mendramatisir kondisinya. Ia menyeringai lagi, sepertinya baru ingat bahwa ia harus berakting kesakitan. Tapi arah pandangan matanya tetap tertuju pada garasi yang pintu rollingdoornya masih tertutup, sedangkan pintu kecil untuk keluar-masuk orang hanya terbuka sedikit. Motor bebek itu tak kelihatan dari tempat Missye berada, sehingga ia selalu berusaha ingin mengetahui apa saja yang akan dilakukan oleh pemuda berambut acak-acakan tadi. Ia tampak mengkhawatirkan motornya. "Coba lihat kakinya. Mbak. Angkat dan taruh di kursi depan Mbak ini. Silakan...!" sambil Kumala menarik kursi lain untuk bisa duduk di dekat kursi yang akan menjadi tempat tumpangan kaki Missye itu. Namun, agaknya Missye kurang tertarik dengan masalah kakinya, lebih tertarik mengetahui nasib motornya. "Mbak, mari... angkat kakinya dan letakkan di kursi ini." " Situ mau apa? Mau mengobati? Apa situ dokter?!" "Memang bukan sih," Kumala tersenyum manis. "Tapi saya... " Kata-kata lembut si Dewi Ular itu terputus oleh kemunculan Buron dari garasi. Perhatian Missye segera dialihkan ke sana. Mata yang lebar itu kini bertambah lebar lagi karena membelalak. "Hahh..?!" Ia terperangah memandangi Buron keluar dari garasi sambil menuntun motornya, ia mematung tanpa gerak dan suara sampai akhirnya motor itu distandarkan di depan teras, dapat dilihat lebih jelas lagi. "Ap .. apa.. apakah itu motor saya?!" "Benar, Mbak. Kami tidak memiliki motor, dan memang Saya belum pernah beli motor. Jadi, kalau di sini ada motor, berarti itu motor Mbak Missye tadi," tutur Kumala dengan lemah lembut. Missye semakin terbengong-bengong melihat motornya menjadi seperti baru keluar dari showroorn. Lampu sign yartg retak bukan saja utuh kembali, tapi juga bersih dan mengkilat, seperti lampu sign yang belum pernah dipakai. Spakbor depan yang tadi penyok, juga dalam keadaan utuh, tanpa ada goresan sedikit pun. Joknya yang bercorak loreng macan, tampak bersih, rapi dan baru. Plastik pelapisnya tak ada yang robek sedikit pun Padahal semula plastik pelapis jok dalam kondisi buram dan ujung depannya robek sedikit. Semuanya serba bersih, mengkilat, dan utuh tanpa kerusakan apapun. Bahkan rodanya pun bersih sekali. Bannya seperti belum pernah menggelinding di jalanan, jerujinya mengkilat . "Ah, bukan! Itu bukan motor saya!" "Perhatikan nomor platnya, sama nggak?" "liy... iya sih. Nomornya memang nomor motor saya. Dan... dan sticker di depan itu juga sticker yang menjadi ciri khas motor saya. Tapi... tapi.. kok bisa sebagus ini sih?!" Kumala Dewi hanya tersenyum kalem. Missye masih kurang yakin. Ia minta Buron membuka jok motor, dan mengambilkan peralatan kecil yang selalu disediakan di bawah jok motor. Ternyata beberapa peralatan seperti obeng dan sebagainya itu, juga dalam kondisi baru. Jenisnya sama persis dengan jenis peralatan yang selalu disiapkan oleh Missye. Bahkan sehelai kain gombal untuk membersihkan,oli atau apa saja yang ikut disimpan di bawah jok, ternyata juga sama persis dengan kain lap miliknya. Tapi keadaan kain itu tidak kotor, melainkan bersih. Seperti belum pernah dipakai. "Bagaimana, Mbak? Masih kurang puas ngomelnya?" sindir buron dan Missye tak bisa bilang apa-apa selain salah tingkah sendiri. Ia tak tahu motornya sudah diperbaiki oleh Buron dengan menggunakan kekuatan gaibnya sebagai Jin Layon. Kekuatan gaib jin seperti itu dapat merubah motor butut menjadi baru sama sekali dalam tempo hanya sekejap mata. Oleh karenanya, pengerjaannya harus dilakukan di dalam garasi tertutup supaya tidak dilihat orang lain. Missye juga terperangah untuk kedua kalinya ketika Kumala menempelkan dua jari tangannya di daerah sekitar tulang kering kaki yang terkilir itu Rasa sakit yang tadi seperti memar dan membuat Missye menyeringai berkali-kali, kini sudah tak ada lagi. Yang dirasakan Missye adalah kesejukan hawa. Hawa aneh itu seperti menyerap ke pori-pori kaki, dan menjalar ke seluruh tubuh. Dalam tempo sekitar lima detik, rasa nyeri pada bagian pergelangan kaki itu hilang. Bahkan luka lecet di sikunya ikut hilang, seperti tak mengalami luka sedikit pun sebelumnya. "Luar biasa...?!" gumamnya lirih saat masih terperangah terkagum-kagum. Yang membuatnya semakin heran adalah hilangnya perasaan kesal, jengkel atau geregetan. Hatinya menjadi damai, dan jiwanya berubah tenang. Sulit terpancing emosi kemarahan dan sejenisnya. Ia tak tahu bahwa Kumala Dewi telah menyalurkan hawa saktinya yang dapat menyembuhkan penyakit dan menentramkan jiwa seseorang. Hawa sakti itu disalurkan melalui kedua jari yang ditempelkan di tulang keringnya Missye tadi. "Bagaimana, Mbak? Majih terasa sakit?" tanya Kumala menguji kejujuran hati Missye. Wanita berhidung bangir itu tak mampu mendustai lawan bicaranya. Ia menganggukkan kepala dengan tersenyum malu-malu, salah tingkah, dan kikuk menyikapi keramahan Kumala. "Maafkan kekasaran saya tadi, ya? Hmrnm, eeh... saya nggak tahu kalau sebenarnya saya sekarang sedang berhadapan dengan 'orang pintar' alias... dukun cantik, yang pantasnya..." "Nggak pantas, Mbak,!" sahut Buron memotong dengan kekonyolannya. "Nggak pantas kalau Mbak katakan bahwa Kumala adalah dukun cantik, sebab... dia bukan dukun, dia bukan... " "Siapa tadi? Kumala?!" Missye ganti memotongnya. Ia tampak terkejut, matanya menatap tajam pada Kumala yang tersenvum tipis dalam keanggunan sikapnya. "Maksudnya . maksudnya... Kumala yang sering diceritakan orang-orang sebagai paranormal muda keturunan bidadari itu?!" "Benar," jawab Kumala. "Sayalah yang bernama Kumala Dewi. Apakah Mbak pernah mendengar nama itu dan sedang... " "Oooohh, kalau begitu... kalau begitu sekalian aku minta tolong padamu, Kumala. Maukah kau menolongku?! Maukah...?!" Buron jadi berkerut dahi. Heran melihat wanita muda itu berbalik merendahkan diri di depan Kumala. Bahkan kelihatan sangat cemas, serta mengharap sekali kepada Kumala agar mendapat bantuan yang dimaksud. Kumala yang tetap tenang itu bertanya maksud pertolongan yang diharapkan Missye. Dengan malu-malu dan serba salah lagi, Missye menjelaskan jiwanya merasa terancam oleh sesuatu kekuatan gaib yang diduga akan merenggut nyawanya. "Kenapa begitu?" "Karena... terus terang saja, Kumala .. Aku tempo hari pernah meminta bantuan kepada seorang dukun ilmu hitam di daerah pelosok, jauh dari Jakarta. Tapi bantuan itu gagal. Sepertinya kalah tanding dengan kekuatan gaib dari lawanku, sehingga aku merasa sedang dicari dan diintai oleh kekuatan gaib yang akan balas dendam padaku. Aku... " "Tunggu dulu, Mbak..," sergah Kumala. "Ceritakan yang lebih jelas lagi, bantuan apa yang Mbak minta dari dukun itu?" "Hmmm... memisahkan hubungan seorang lelaki dari wanita yang kini menjadi istrinya. Aku ingin membuat pesta perkawinan lelaki yang kucintai itu gagal berantakan, tapi... ternyata usaha itu tak berhasil. Menurut dukun ilmu hitam yang membantuku, pihak wanitayang menjadi istri lelaki itu memiliki seorang pelindung yang berilmu tinggi, dan mampu menghancurkan kekuatan ilmu hitamnya dukun tersebut. Padahal..." "Tunggu, Mbak..!" sambar Sandhi yang baru saja muncul dari ruang tengah. Ia sempat tertarik dengan penjelasan Missye yang sejak mendekati pintu teras sudah kedengaran jelas-jelas. Ia menaruh kecurigaan pada Missye, sehingga berani memotong pembicaraan wanita bertubuh langsing itu. "Apakah Mbak Missye kenal dengan Renna, atau Edwin, yang baru kemarin melangsungkan perkawinannya itu?" Gemetar bibir Missye ketika ingin menjawab pertanyaan itu. "Hmm, iyy... iya, aku kenal dengan Edwin. Dialah... yang aku maksud sebagai lelaki mantan pacarku dan... " "Oh, kalau begitu...," kata Sandhi kepada Kumala. "Dia inilah orangnya yang mengirim hujan mistik itu, Kumala!" "Lho, ja.. jadi... yang melumpuhkan ilmu hitamnya..." "Kumala Dewi inilah yang melawan hujan keparatmu itu, Mbak!" cetus Sandhi mulai bernada tinggi. Kumala buru-buru mencegahnya. "Sandhi... ! Bagaimana pun juga Mbak Missye ini tamu kita. Kita tetap harus menghormatinya." Senyum lembut Kumala merupakan isyarat yang dipahami oleh Sandhi. Senyum lembut itulah yang membuat Mbak Missye semakin gemetar ketakutan, karena kini ia sadar dirinya sedang berhadapan dengan orang yang mampu melumpuhkan kekuatan ilmu hitam kirimannya. Semakin ciut nyali Missye, semakin minder perasaannya, semakin takut ia memandang Kumala, Sandhi maupun Buron. Padahal saat itu Sandhi dan Buron buru-buru menetralisir sikapnya agar tetap ramah dan menghargai tamu, seperti sikapnya Kumala Dewi sendiri itu, tapi toh Missye masih tak berani duduk dengan tegak seperti tadi. Seperti yang dikatakan Kumala kepada Sandhi sewaktu dalam perjalanan tadi, bahwa pelaku pengirim hujan mistik itu akan menemuinya dengan cara yang tak diduga-duga, dan akan meminta maaf berkali-kali kepada Kumala. Ternyata hal itu memang benar. Terbukti nyata di depan mata Sandhi, Missye menyatakan penyesalannya dan meminta maaf berkali-kali. Bahkan ia titip pesan kepada Renna atas permintaan maafnya, karena ia malu dan tak berani menemui Edwin maupun Renna. Missye mengaku telah lama jatuh cinta kepada Edwin, yang sebagai atasannya di kantor itu. Tetapi cintanya tak sepenuhnya mendapat balasan dari Edwin, meski pun Edwin tidak menyatakan benci kepadanya. Missye juga mengakui tindakan 'main dukun' sendiri demi merebut Edwin dari jerat tali-perkawinannya dengan Renna. Kini semua itu menjadi segumpal penyesalan di hati Missye, sehingga ia butuh seseorang yang dapat meredakan tangis batinnya serta mengobati luka hati dari perkawinan Edwin dan Renna itu. Kumala Dewilah yang mampu menolongnya sekali lagi. "Lalu, apakah Mbak Miss juga yang mengirimkan kekuatan gaib hitam kepada pasangan-pasangan yang sedang kencan itu? Mbak Missye yang membuat mereka meledak hingga berkeping-keping mayatnya?!" Missye tercengang bengong memandangi Sandhi yang bertanya padanya, Sandhi, Buron dan Kumala seolah-olah menunggu jawaban itu dan mengharap agar Missye segera menjawabnya. 4 DILIHAT dari nilai kecantikannya yang masih tampak muda sekali itu, siapa pun orangnya tak akan menyangka bahwa Kumala Dewi gadis yang memiliki kesaktian sangat tinggi. Termasuk Missye yang tak menyangka bahwa ternyata gadis cantik jelita seperti berusia 24 tahun itu sulit sekali untuk dikelabuhi atau dibohongi. Missye sudah berusaha menyakinkan kejujuran ucapannya dengan berbagai cara, namun Kumala Dewi tetap menggelengkan kepala dengan senyum anggunnya. Bahkan dengan sangat kalem penuh kharisma ia terang-terangan menilai Missye tidak jujur. "Masih ada sesuatu yang disembunyikan dari seluruh penjelasan dan pengakuan Mbak Miss tadi. Pada saat ucapan Mbak Missye bertentangan dengan hati nurani, maka jiwa Mbak Missye mengalami getaran halus secara naluriah. Dan, getaran jiwa sehalus itu sangat jelas saya rasakan dalam kalbuku. Seolah-olah kalbu saya ikut terguncang oleh getaran jiwa Mbak Missye yang menyangkal kata-katanya sendiri." "Hmm, tapi... berani sumpah deh, semua sudah kujawab dan kujelaskan apa adanya kok. Swear!" Senyum di bibir ranum putri dewa itu makin melebar Ia tidak menunjukkan rasa kecewanya walau merasa masih dibohongi Ia justru tertawa kecil, renyah dan merdu suaranya . Kuncup bunga yang tumbuh menembus keremangan petang menjadi bermekaran mendengar tawa si anak bidadari dari Kahyangan itu. "Ya, sudah .. kalau Mbak Missye masih bersikeras merahasiakan sesuatu yang tampaknya sangat pribadi itu, saya nggak akan memaksa Mbak Missye agar memaparkannya saat ini. Memang bukan hal yang mudah menjadi orang yang selalu berpegang teguh pada kejujuran jiwa. Cepat atau lambat pasti Mbak Miss akan dapat menegakkan kejujuran hidup dalam jiwa Mbak sendiri." "Habis... gimana lagi sih...?!" Mbak Missye justru salah tingkah, seperti didera oleh keresahan yang membingungkan. Kumala Dewi tetap tenang, ramah dan bersahabat sekali terhadap tamunya yang baru dikenal satu jam yang lalu. "Tapi, Mbak... menurut pendapat saya, sesuatu yang Mbak sembunyikan demi gengsi atau untuk suatu tujuan tak baik, lama-lama akan menjadi busuk dan menyiksa diri Mbak Missye sendiri lho. Bayangan dosa akan menggerogoti batin kita selama kita masih menyimpan virus kebohongan terhadap siapa saja. Itu benar lho, Mbak!" "Hmmm, iya sih... tapi sebenarnya aku sudah... " "Mbak mau ikut santap malam bersama kami?" potong Kumala sengaja untuk mengalihkan pembicaraan, karena tampaknya sang tamu sudah terdesak dan sulit menetralisir perasaannya yang gundah itu. Missye memang merasakan suatu siksaan batin luar biasa. Padahal biasanya ia tak pernah merasakan hal itu secara berlebihan sekali pun ia berbohong seratus kali dalam sehari. Entah mengapa kali ini kebohongan seperti pisau yang menyayat hati, seperti palu godam yang menghantam ulu hatinya, bahkan seperti berada dalam suasana menyongsong datangnya ajal. Menakutkan sekali. Missye tak kuat menahan perasaan itu di depan Kumala Dewi yang tidak melakukan tindakan apa-apa dan tetap bersikap ramah dalam keakraban seorang sahabat. "Baiklah... sepertinya aku nggak sanggup lagi kalau harus berpura-pura di depanmu, Kumala kata Missye pada akhirnya, ia ingin melepas seluruh beban kejiwaannya, juga membuang semua rasa bersalahnya. Perasaan lega yang menggembirakan hati langsung dapat ia rasakan pada waktu itu, dan sekarang sedang dikenangnya sendiri dalam perjalanan bersama Dewi Ular. Itulah sebabnya, sejak berangkai meninggalkan rumah Kumala bersama gadis paranormal dan sopirnya yang bernama Sandhi, mulut Missye lebih banyak bungkam daripada berceloteh seperti biasanya. Ia sedang merenungi kelegaan yang berhasil ia peroleh sejak melengkapi pengakuannya lebih jujur lagi. "Kumala, terus terang... memang sebenarnya aku tidak dibantu oleh dukun dari tempat yang jauh aku mengaku, itu cuma siasatku saja untuk merahasiakan siapa pihak yang membantuku dalam rencana menggagalkan perkawinannya Edwin dan Renna itu. Sebenarnya yang membantuku dengan kekuatan gaib melalui hujan deras tempo hari adalah temanku sendiri. Teman baru. Dia juga masih muda. seperti kamu. Dia juga cantik dan sexy. Dia pandai menarik simpatik setiap orang, termasuk aku yang menjadi sangat terkesan dengan perkenalan kami yang bersahabat sekali itu." "Berapa lama kenal dia?" "Sekitar... baru empat hari, lima hari dengan sekarang." "Mbak tahu di mana tempat tinggalnya ? " "Tahu," jawabnya polos. Tampakjelas kejujurannya lewat ekspresi wajah dan tatapan mata yang penuh kepasrahan. "Saya ingin berkenalan juga dengan orang itu, Mbak. Bisa bantu saya mengenalnya?" "Bisa. Dia punva nama yang mudah diingat dan cepat dikenal. Nuy, itu namanya." "Nuy...?!" gumam Kumala dengan dahi sedikit berkerut. Ada sesuatu yang dirasakan janggal olehnya begitu mendengar nama Nuy. Tapi deteksi gaibnya merasakan sebuah kejujuran begitu polos, menandakan bahwa Missye memang berkata benar. Nuy bukan nama hasil karangan Missye sendiri. "Aku punya nomor telepon tempat kostnya, kalau kau mau menghubungi dia kapan saja... bisa!" kata Missye memecah kebisuan di antara mereka berdua. "Saya ingin ketemu dia, Mbak. Bisa antarkan saya ke sana?!" "Tap... tapi... hmmm, eehh... gimana. ya?" Saat itu Missye nyengir kuda. Salah tingkah sendiri. Padahal Nuy sudah wanti-wanti padanya untuk tidak menyebutkan namanya kepada siapapun, supaya rahasia pribadi mereka saling terlindungi. Sekarang rahasia itu sudah dibeberkan di depan Kumala, lalu Kumala minta diantar ke tempat kostnya Nuy. Lalu, apa kata Nuy nanti jika mengetahui bahwa Missye tidak menepati janjinya? Tapi, tanpa membocorkan rahasia itu, Missye menderita tekanan batin yang sangat menyiksa. Dan, ketika pada akhirnya ia putuskan untuk bersedia mengantarkan Kumala menemui Nuy, perasaan plong di dalam hatinya luar biasa puasnya. Lega sekali. Seolah-olah tak ada beban sedikit pun dalam batinnya maupun pada otaknya. "Aneh? Kok bisa merasakan begitu aku, ya?" pikir Missye saat masih berada dalam mobil BMW hijau, kebanggaannya si Dewi Ular itu. Missye tak sadar bahwa ia telah terkena pengaruh hawa saktinya Kumala yang keluar melalui tatapan mata indahnya itu. Hawa sakti tersebut dapat membuat seseorang merasakan kelegaan dan kebahagiaan hati ketika ia memberikan suatu kejujuran yang benar-benar, tulus dari hati nuraninya. Apalagi Kumala menjamin keselamatan Missye dari ancaman Nuy atau pihak mana pun, semakin tentram hati Missye selama menjadi pemandunya Kumala Dewi. Malam itu juga mereka menuju tempat kostnya Nuy. Motor yang sudah berubah menjadi seperti baru keluar dari showroom itu dititipkan di rumah Kumala. Mereka , bertiga menggunakan mobil mewah tersebut. Buron sengaja tidak dibawa oleh Kumala, meski pun ia adalah asistennya Kumala untuk urusan gaib. Buron hanya ditugaskan memonitor keadaan sekitar tempat tinggal mereka, sekaligus sebagai penjaga rumah, mewakili Kumala jika sewaktu-waktu ada klien yang datang malam itu. Mereka tiba di rumah kost Nuy sebelum pukul delapan malam.Tempat kost itu terletak di pinggiran jalan menuju kompleks perumahan dosen. Pada waktu Missye bermalam di rumah bibinya yang tinggal di komplek perumahan dosen itu, ia bertemu dengan Nuy dan akhirnya berkenalan. Perkenalan mereka terjadi pada saat Missye dan sepupunya; Lolly, sedang dalam perjalanan pulang dari rumah famili mereka. Mengendarai sebuah mobil Espass yang dikemudikan oleh Lolly. Mobil itu mogok tanpa sebab di pertengahan jalan, tepat di tempat yang sepi dan rawan kejahatan. "Pada waktu itu cuaca sangat buruk, tapi tak sampai turun hujan. Hanya hembusan angin yang muncul dengan ganas, menyerupai badai lautan," tuturnya kepada Kumala, sewaktu mereka masih dalam perjalanan tadi.Missye dan Lolly sama-sama tak tahu soal mesin mobil. Mereka berdua sama-sama kebingungan. Satu- satunya jalan adalah menghubungi kakaknya Lolly melalui HP agar datang ke tempat mobil yang mogok tanpa diketahui penyebabnya itu. Namun sebelum mereka sempat menghubungi kakaknya Lolly, seorang gadis muda sekitar 25 tahun usianya, datang dari sebuah halte yang ada di belakang mereka. Gadis itu berambut pendek, cantik, sekal dan padat berisi bentuk tubuhnya. Ia baru turun dari sebuah angkutan kota. Gadis itu menghentikan langkahnya sewaktu hendak melewati tempat mogoknya mobil Lolly. Rupanya gadis itu datang dari suatu tempat yang jauh, yang tidak mengenali jalan-jalan di sekitar tempat itu. Mengaku baru datang dari luar kota. la menanyakan nama jalan yang dituju, tapi Lolly dan Missye tidak mengetahuinya. Ketika gadis itu mendengar keluh kesah Lolly dan Missye, yang jengkel akibat menghadapi mobil mogok itu, ternyata si gadis berhidung mancung itu menawarkan bantuan tenaga. Gadis yang kemudian memperkenalkan diri bernama Nuy itu ternyata berhasil memperbaiki kondisi mesin mobil tersebut. Sebagai balas jasa atas bantuan Nuy, mereka berdua menawarkan tumpangan untuk mencari alamat yang dituju. Ternyata sampai hampir tengah malam mereka masih belum menemukan alamat yang dituju Nuy. Lolly menawarkan untuk bermalam di rumahnya, karena kebetulan malam itu papa, mama dan adik- adiknya sedang menginap di rumah famili yang tadi dikunjungi Lolli dan Missye juga. "Sejak malam itulah aku mengenal dia, dan mengetahui bahwa dia bukan hanya gadis yang enak diajak ngobrol, cerdas dan luas wawasannya, tapi juga dia punya kelebihan. Menurutnya kekuatan gaib yang dimiliki itu bukan berasal dari seorang guru supranatural, melainkan pembawaan sejak lahir. Maka, kucoba untuk berkeluh kesah padanya, curhat padanya, sampai akhirnya ia menawarkan sebuah rencana untukku. Aku sangat setuju, karena rencana itu memang merupakan bagian dari gagasan gilaku, yaitu merebut Edwin dan mengacaukan perkawinannya. Lalu... sebelum itu, siangnya aku sempat membantu Nuy mencarikan tempat kost, dan kudapatkan tempat kost itu tak jauh dari rumah bibi. Di tempat kost itulah Nuy ngerjain perkawinannya Edwin dengan beberapa syarat yang ia sediakan sendiri Pokoknva, aku tahunya terima beres saja...!" Sampai di situ saja penjelasan Missye yang lebih detil lagi itu dituturkan! Ia tak menyambung kata-katanya karena harus memberi paduan kepada Sandhi mengenai arah mobil. Tak sampai satu menit mobil pun berhenti di depan tempat kost berlantai dua dan berhalaman luas. Di situlah Nuy tinggal, di kamar atas bernomor pintu 106. Missye turun lebih dulu. Tampak sudah terbiasa datang bertamu ketempat kost itu. "Lama amat sih? Kok nggak segera turun bossmu itu, San?!" tegurnya kepada Sandhi, karena Sandhi sudah ikut masuk ke halaman sementara Kumala Dewi masih di dalam mobil. Mereka berdua menunggu di depan serambi depan yang menjadi satu dengan ruang tamu. Karena kelihatannya Missye tidak sabar menunggu Kumala turun dari mobil, maka Sandhi pun berkata dengan nada ragu-ragu. "Mungkin... mungkin Kumala sedang menukar sepatunya dengan yang lebih santai lagi. Tunggu sebentar, pasti akan segera keluar." "Sebaiknya...," belum selesai Missye mengatakan sesuatu, ternyata Kumala sudah muncul dari dalam mobil. Ia segera melangkah menghampiri keduanya sambil masih menempelkan HP-nya di telinga. Rupanya tadi Kumala harus menerima telepon dulu dari seseorang dan bermaksud keluar dari mobil setelah percakapannya selesai. Tapi karena merasa ditunggu oleh Missye, akhirnya sebelum percakapan itu selesai ia sudah lebih dulu keluar dari mobilnya. Tiga langkah sebelum mencapai Missye dan Sandhi, percakapan telepon itu selesai. Suaranya langsung terdengar jelas, ditujukan kepada Sandhi. "Kita harus segera meluncur ke perumahan Puri Elok, San!" "Ada apa?" tanya Sandhi mulai curiga. "Baru saja Mbak Mer telepon, memberi tahu bahwa tiga menit yang lalu telah terjadi ledakan besar di salah satu rumah Puri Elok. Dan... " "Astaga.....?!" Sandhi terperangah. "Ledakan..?!" Missye juga terbelalak kaget. "Ada korbannya?" "Sepasang kekasih yang sedang kencan .. " jawab Kumala tegas tapi terkesan kalem. "Mereka hancur seperti yang sudah-sudah, tapi tak separah yang lain. Masih ada beberapa potong sisa tubuh mereka yang bisa dikenali" "Gila! Kalau begitu kita segera ke sana saja. Sekarang juga!" "Tunggu dulu!" sergah Missye. "Kita temui duluNuy. Mumpung kita sudah sampai di sini. Bukankah begitu, Kumala?" Dengan tatapan mata yang lembut namun mengan -dung senyum yang aneh, Kumala Dewi menggelengkan , kepala nyaris tak kentara. "Sepertinya kedatangan kita sia-sia, Mbak Miss." "Sia-sia bagaimana? Ya, nggak sia-sia dong Missye bersungut-sungut, lalu segera menemui dua orang gadis yang sedang duduk-duduk di ruang tamu. Ia menanyakan Nuy kepada kedua orang itu. Salah satunya menjawab dengan nada agak ketus, menampakan rasa kurang simpatinya kepada Nuy. "Mau cari si angkuh itu? Uuhh... telat, Kak. Kalau saja Kakak datang sebelum maghrib tadi, ya bisa ketemu si tengilitu." "Oh, jadi... Nuy pergi?" "Pergi sama gacoannya," jawab yang satunya. "Mungkin dia dibooking sama si tampan keren bermobil Carnival merah maroon itu. Entah di hotel mana mereka saling nyosor!" Missye langsung berpaling menatap Kumala Dewi. Tatapan matanya bernada kecewa bercampur heran. Bukan kata-kata sinis kedua gadis itu yang membuatnya bereaksi demikian, tapi kata-kata Kumala tadi yang diingatnya saat itu. Ternyata gadis paranormal cantik itu sudah mengetahui lebih dulu bahwa Nuy tidak ada di tempat, sehingga berani menyatakan kehadirannya adalah sia-sia. Missye juga merasa kecewa, karena sebenarnya Nuy tidak pergi sebelum ia datang. Sebab sebelum peristiwa ia jatuh bersama motornya, ia sudah lebih dulu membuat janji untuk bertemu di tempat kost itu bersama Nuy. Ternyata Nuy tidak menepati janji, dan membuatnya tak enak hati terhadap Dewi Ular dan sopirnya itu. Perasaan tak enak itu semakin membuat hati Missye berdesir, bagaikan meluncur dari suatu ketinggian yang mendebarkan. Desiran menyengat ulu hatinya itu terjadi ketika ia masuk ke mobil kembali. Karena motornya masih dititipkan di rumah Kumala, mau tak mau ia terpaksa ikut ke Puri Elok lebih dulu. Tetapi suatu keajaiban telah terjadi pada saat itu, tepat pada saat BMW hijau giok itu mundur sedikit, kemudian mulai meninggalkan tempat kost Nuy. "Angkat kakimu... " Samar-samar Missye mendengar suara Kumala bicara kepada sopirnya. Entah apa yang dilakukan Sandhi setelah mendengar perintah itu, yang jelas Missye merasa seperti terayun dari tempat yang tinggi. Siiiiir... Mobil melaju cepat. Tak jelas berapa ukuran kecepatan itu. Yang dirasakan Missye adalah kilauan cahaya sekejap yang menyilaukan mata, sehingga matanya berkedip secara refleks. Begitu mata terbuka lagi, mobil telah berhenti di antara kerumunan massa. Missye tercengang, karena ia mengenali pemandangan sekitarnya ternyata adalah pemandangan di komplek pemukiman elite: Puri Elok. "Wow...?!" desahnya terkagum-kagum. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia malam ini akan melakukan perjalanan gaib bersama Kumala Dewi dan Sandhi, yaitu perjalanan menembus dimensi gaib yang membuat mereka bisa berada di Puri Elok dalam sekejab. Padahal perjalanan mobil normal dari tempat kostnya Nuy ke Puri Elok akan memakan waktu sekitar 30 menit. Sampai mereka bertiga turun dari mobil mewah itu, Missye masih terbengong-bengong seperti orang linglung. Desiran di hatinya masih tersisa sedikit, dan membuatnya menjadi sulit berkata apa-apa. Sandhi segera memberi isyarat agar mereka mengikuti langkah Kumala memasuki halaman rumah tempat ledakan bom itu terjadi. Mereka mendapat kemudahan dari para petugas kepolisian yang mengamankan sekeliling rumah korban, karena para petugas kepolisian sangat mengenali siapa gadis cantik jelita yang berani menerobos pita kuning pembatas wilayah TKP itu. Siapa lagi kalau bukan si cantik konsultan kriminil untuk kepolisian yang telah banyak membantu pihak kepolisian dalam mengungkapkan kasus-kasus misterius itu? Seperti halnya ledakan bom yang terjadi tiga menit yang lalu ternyata semakin kuat dikategorikan sebagai kasus kriminil misterius. Peledakan bom misterius itu selalu menewaskan dua orang korban berlainan jenis, dan kondisi mayat korban selalu dalam keadaan menggenaskan sekali. Anehnya korban selalu dalam keadaan tak tetutup selembar benang pun, seolah-olah mereka berdua meledak bersama ketika sedang asyik bercumbu mesra. Korban kali ini sedikit berbeda dengan yang sudah-sudah. Kepala mereka yang terlepas dari tubuh masing-masing, ternyata masih memiliki bentuk wajah yang dapat dikenali oleh mereka yang punya hubungan dekat dengan kedua korban. Salah satu orang yang tersentak kaget sambil menyeringai ngeri adalah Missye, karena ia mengenali wajah salah satu dari kedua korban. "Hahh...?! Nuy. Nuuuyyy...??!" sebutnya dengan serak parau dan menggigil di tempat sambil berpegangan pundak Sandhi. Tentu saja Sandhi tersentak kaget mendengar pernyataan tak langsungnya Missye itu. Hampir saja ia tak percaya ketika Missye lebih nyata lagi menyakinkan bahwa gadis yang menjadi korban ledakan kali ini adalah Nuy. Sandhi menjadi sangat percaya setelah melihat mobil si lelaki tampan yang ada di dalam garasi dan ikut rusak karena ledakan itu adalah mobil Carnival merah maroon, seperti yang dikatakan hedua gadis penghuni tempat kost di sana. "Mala, ternyata korban itu adalah Nuy .. ! " kata Sandhi. "Bagaimana mungkin gadis berilmu hitam cukup tinggi itu akhirnya tewas dalam satu ledakan misterius?! Apakah menurutmu... Missye menipu kita?' "Tidak," jawab Kumala masih dengan sikapnya yang sangat kalem dan berkharisma sekali. Sejak tadi ia bersikap demikian, tak terlihat ekspresi herannya, atau ketegangan di permukaan wajah cantiknya itu. Ia juga tak merasa ngeri, jijik, atau takut. Ia sangat tenang, sekaligus sangat mengagumkan di mata siapa saja. "Aku sudah menduga telah terjadi sesuatu pada diri Nuy, yaitu sejak aku turun dari mobil di depan tempat kostnya tadi. Aku tak merasakan getaran energi Nuy sewaktu kakiku menapak ke tanah. Kesimpulanku tadi, Nuy pasti tidak ada di tempat. Dan, ketika kudengar Nuy pergi dengan pria tampan bermobil Carnival merah, naluri gaibku segera menangkap sinyal bahaya pada diri mereka berdua. Ternyata kecurigaan naluriku adalah benar." Kata-katanya terhenti oleh sesuatu yang menarik perhatiannya. Hidung mancung berbibir ranum sensual itu mengendus-endus udara di sekelilingnya. Sandhi dan Missye memperhatikan dengan rasa ingin tahu. Melihat dahi Kumala sedikit berkerut, Sandhi tak sabar untuk segera mengetahui keganjilan yang ditemukan pada diri si gadis putri tunggal Dewa Permana itu. "Ada apa?! Katakan, ada keganjilan apa yang kau temukan saatini, Mala! " "Ada apa sih...?" Missye ikut bertanya dengan air mata disusutkan memakai tangannya sendiri. "Mbak Mssye nggak perlu menangisi kematian Nuy. Dia bukan seorang teman yang baik." "Kenapa kamu bilang begitu?!" "Karena...," Kumala menatap Sandhi, menandakan kata-kata berikutnya ditujukan pada pemuda bertampang lumayan itu. "Aku selalu mencium bau yang yang sama jika sedang berada di TKP kasus seperti ini. Kurasa kesimpulanku nggak salah lagi, San." "Bau apa maksudmu?" "Semacam bau jenis nitrogen dan uap larutan zat yang tak dikenali di muka bumi ini." Ia mengendus-endus lagi. Kali ini Sandhi dan Missye ikut-ikutan mengendus-endus sekelilingnya. Namun mereka tali menemukan aroma aneh yang dicurigai Dewi Ular itu. Sandhi berterus terang tak menemukan kejanggalan apapun selain bau asap bakaran kain, kayu, daging manusia dan yang lainnya. "Kejanggalan yang kutemukan hanya pada kondisi mayat korban," kata Sandhi. "Tanpa darah merah. Darah korban menjadi hitam, kering, sebagian besar serpihan tubuhnya menjadi arang, keras, berabu dan... " "Dan, bagian tubuh Nuy sama seperti wanita-wanita yang menjadi korban ledakan seperti ini, yaitu cepat menjadi rentas dan seperti gumpalan arang. Diremas sedikit hancur menjadi debu, kan?! Itu artinya Nuy dan wanita korban lainnya adalah bukan manusia biasa." "Bukan... bukan manusia biasa?!" Missye setengah terpekik kaget. "Lalu .. jika Nuy bukan manusia biasa, lantas apa dong?!" "Penghuni alam kegelapan," jawab Kumala pelan sekali, karena tak ingin orang lain mendengarnya, supaya tidak menimbulkan kekacauan dan keresahan di antara mereka. Ia bahkan segera bergegas menghampiri Polwan cantik yang tadi mengabarinya melalui HP itu: Peltu Merina Swastika. Sangat memprihatinkan sekali. Baru seminggu lewat sehari Kumala Dewi pulang dari Swedia , sudah harus berhadapan dengan 18 korban ledakan misterius pihak kepolisian hingga kini belum berhasil melacak pelaku peledakan yang selalu menelan korban yang sedang bercumbu mesra itu. Dinas intelejen yang telah dikerahkan pun sampai sekarang belum dapat mendeteksi kapan dan di mana lagi ledakan berikutnya akan terjadi. Yang jelas semakin hari semakin meningkat pesat jumlah korban yang berjatuhan akibat kasus ledakan misterius itu. Kaditserse, Senior Seperintendent Dellson, secara non formal telah menghubungi Kumala Dewi dan secara tak langsung telah menyerahkan penanganan kasus peledakan misterius itu kepada si anak dewa tersebut. Hubungan baiknya selama ini telah membuat Kumala Dewi merasa sangat prihatin jika Pak Dellson dan jajarannya dipermainkan oleh tokoh misterius di balik peledakan-peledakan yang sangat tak manusiawi itu. "Jakarta akan kehabisan pasangan romantis jika kasus ini tidak segera teratasi, Dewi Ini sangat membahayakan kelangsungan hidup romantis anak-anak muda seusiamu. Aku khawatir sendiri nantinya akan kehilangan kesempatan jatuh cinta kalau masalah ini nggak cepat-cepat kita atasi, Dewi." "Ah, bukan saja yang muda yang menjadi korban kan? Yang tua seusia Bapak juga ada, kan?" sambil tawa manis Kumala berderai di depan pria berusia 48 tahun yang menganggap Kumala seperti anaknya sendiri itu. Karenanya Kumala tak canggung-canggung bersikap sedikit kekanak-kanakan di depan Pak Dellson yang dijadikan figur seorang ayah dalam kehidupannya di muka bumuni. Pak Dellson berkata begitu, karena kasus peledakan misterius yang terakhir ternyata menewaskan pasangan muda-muda yang tidak sedang bercinta di atas ranjang. Muda-mudi itu sedang berpacaran di sebuah taman. Memang, mereka bisa dibilang 'sedang mojok' tapi tak melakukan tindakan bercumbu mesra seperti di atas ranjang. Toh tiba-tiba terdengar ledakan cukup keras, dan sepasang muda-mudi itu pun tewas dalam keadaan mengenaskan sekali. Mayat mereka selain terpotong-potong juga menjadi hitam, hangus, seperti arang. Darah mereka hitam kering. Terutama kondisi potongan mayat wanitanya, menggumpal seperti arang rentas, yang jika tak hati-hati membawanya dapat hancur seperti debu. Aroma aneh yang tercium di sekitar TKP masih sama seperti yang tercium di tempat hancurnya Nuy, tempo hari. Hal itu membuat Kumala semakin kuat berkesimpulan, salah satu dari kedua korban adalah bukan manusia biasa. Kesimpulan itulah yang mendorong Pak Delison menyerahkan kasus tersebut sepenuhnya kepada Kumala. Maka, keluarlah SPK lisan untuk si jelmaan Jin Layon. Surat Perintah Kerja itu disampaikan oleh Kumala Dewi melalui telepon dari kantornya. Sebab saat itu Kumala sedang kedatangan tamu di kantornya yang membawa informasi penting berkaitan dengan bom misterius itu. "Ron, jelajah seluruh kota setiap jengkal tempat di Jakarta ini, dan periksa semua jenis energi panas yang ada di sekitarmu. Jinakan secepatnya jika energi panas itu sebuah bom yang siap meledak. Beri aku laporan secepatnya, ya?" "Okey, Boss. Ada bonusnya kan?" "Dua loyang pizza khusus untuk saudaraku yang ganteng ini, tapi kalau pekerjaanmu sudah beres, tentunya." "Yaah... cuma dua loyang pizza?!" keluhBuron, dan Kumala Dewi hanya tersenyum tipis membayangkan wajah lucu asisten gaibnya itu jika sedang mengeluh seperti tadi. Ia yakin Buron akan langsung menjalankan tugas, meski sebenarnya tanpa janji bonus apapun. Kumala tahu persis, Buron yang konyol dan kadang bandel itu sebenarnya memiliki kepatuhan yang tinggi, loyalitas dan kesetiaannya pun sangat besar. Tak perlu disangsikan lagi. Yang perlu disangsikan adalah kemampuannya melacak energi panas yang dimaksud. Sebab, kesaktian Jin Layon sering gagal menembus gelombang energi panas yang berasal dari gelombang energi gaib kelas tinggi. "Aku harus mengembalikan hawa suciku lebih dulu, setelah kemarin hampir terkuras habis saat menangani kasus mistik di Swedia." "Kapan selesai pemulihan hawa sucimu?" "Nanti petang batas akhirnya. Pokoknya begitu matahari telah terbenam, energi hawa suciku telah penuh kembali dan aku baru bisa mulai bekerja semaksimal mungkin dalam menangani kasus ini." Tamu tampan berambut agak panjang tapi berbusana eksklusif itu manggut-manggut menyimpan kekaguman dalam hatinya. Ia tahu persis bagaimana proses pemulihan hawa suci anak bidadari itu. Tidak menelan makanan apapun selain air putih dan tidak tidur selama tujuh hari penuh. Jika bukan berdarah dewa, mana mungkin gadis cantik sejelita Kumala mampu melakukan ritual seperti itu? Tentu saja tamu tersebut tahu banyak tentang kehidupan pribadi Kumala Dewi, karena ia memang sedang menjalin hubungan asmara dengan si gadis anak bidadari itu. Si tampan berpenampilan kalem dan elegan itu tak lain adillah Rayo Pasca, seorang staf ahli di bidang riset pada lembaga pusat penelitian dan pengembangan teknologi. Pemuda berusia 28 tahun itu belakangan ini memang sibuk meneki ini karirnya di laboratorium Bidang X-Project, sehingga tak punya banyak waktu untuk memadukan kasihnya dengan kemesraannya si anak bidadari itu. Dan, keduanya toh saling memahami kondisi masing-masing sehingga tak terjadi kesalah pahaman asmara dalam perjalanan cinta kasih mereka: "Sudah berapa lama dia diangkat sebagai asistenmu?" "Baru tiga hari dengan sekarang." "Siapa yang menempatkan dia sebagai asistenmu?" "Pak Atmaja dong, Dirutku sendiri. Dan, aku nggak bisa menolaknya, sebab dia keponakan Pak Atmaja." Kumala rmnggut-manggut sesaat sambil tertegun merenungi kabar yang disampaikan Rayo secara jujur dan lugu itu. Rayo juga mengaku memiliki perasaan aneh kepada asisten batunya Perasaan itu sulit diungkapkan dengan kata-kata selain hanya bisa dirasakan oleh Halaman 90 dan 91 Blank....... menangkap keganjilan yang cukup serius dari pernyataan konyolnya itu, La. Makanya, aku ingin siang ini juga kita menemui Grin, dan tolong kontrol dia dengan deteksi gaibmu, ada apa di balik pernyataannya itu sebenarnya?" "Kalau ternyata tak ada apa-apa yang serius dalam dirinya?" " Yaaah.... ya, sudahlah. Nggak apa-apa. Aku tenang kembali." "Maksudnya... merasa aman jika berada di sampingnya terus, begitukah?" pancing Kumala lagi sambil melirik tajam namun mesra. "Kenapa kamu selalu menggiringku ke sudut kecemburuan sih?" "Karena, ketika kusebut nama Grinne di dalam hatiku, aku merasakan debar-debar harapan yang cukup menggetarkan jiwa. Dia menaruh harapan padamu secara diam-diam. Harapan untuk dicintai dan dimanjakan. Dia menyukai lelaki tipe kamu; cool, kalem, eksklusif ganteng, tapi punya sejuta keromantisan yang menggelora dibalik acuh tak acuhmu terhadap wanita. Dia suka yang begitu, dan... " "Aaaah... sudah, sudah!" potong Rayo mendesah tanda makin resah. "Itu cuma diplomasimu saja. Karena kau sendiri memang suka sama cowok tipe kayak gitu tadi. Sekarang yang penting tolong temui dia dulu, dan pelajari dia dengan radar gaibmu itu. Kalau memang dia berbahaya, lebih baik kudesak Pak Atmaja untuk menempatkan dia di bagian lain saja. Jangan menjadi asistenku!" "Aku saja deh yang jadi asistenmu," sambil mencubit dagu Rayo, membuat Rayo semakin salah tingkah dengan perasaannya sendiri. 5 Hal 94 -95 BLANK bagaimana pun Kumala tak akan membiarkan saudaranya terkapar dalam bahaya besar. "Aku harus perhitungkan masak-masak bagaimana menjamah hawa gaibnya, supaya kekuatan tak salah sentuh. Sebab, seluruh lapisan penangkal gaibnya dalam keadaan rusak berat. Salah sentuh sedikit dapat membuatnya kehilangan lapisan hawa gaibnya, dan itu berarti ia akan hancur. Kembali ke jasad asli sebagai Jin Layon. Tentunya kita semua tidak menginginkan kesalahan fatal itu sampai terjadi, bukan?" Menentramkan sekali kata-kata Kumala kali ini. Seolah-olah mengandung gelombang getaran yang dapat menjinakkan gemuruh emosi jiwa yang berkecamuk dengan hebat itu Suara tersebut membuat Mak Bariah dan Sandlii merasakan suatu kelegaan yang aneh, yang makin lama makin membuat jiwa mereka menjadi tenang kembali. "Syukurlah kalau dia masih bisa diselamatkan," ujar Mak Bariah dengan pelan sekali, seakan ditujukan untuk dirinya sendiri" Meski dalam kesehariannya Mak Bariah sangat sering dibuat jengkel oleh Buron, dan omelannya untuk Buron hampir tiap hari didengar oleh para penghuni rumah indahnya Kumala, namun sesungguhnya hati pelayan setia Dewi Ular itu tak segalak kecerewetan mulutnya, bagaimana pun juga Mak Bariah akan merasa sangat sedih jika sampai jelmaan Jin Layon itu mati atau hancur selama-lamanya. Sebab, pemuda konyol berambut kucai itu sudah dianggap seperti keponakan sendiri, yang kadang menjengkelkan, namun juga sering menggelikan hati . Menghibur kepenatan hari-hari tuanya. Begitu pula halnya dengan Sandhi. Baginya, Buron adalah saudara kandungnya sendiri. Cekcok mulut memang sangat sering terjadi di antara mereka berdua. Namun, hati Sandhi tak pernah benar-benar merasa sakit dan terluka oleh apapun tingkah Buron yang menjengkelkan. Oleh karenanya, ia akan sangat merasa kehilangan jika Kumala Dewi gagal menyelamatkan jelmaan Jin Layon yang pernah memberinya ilmu kesaktian para jin, yaitu Aji Tundukseta dan Aji Brajagama itu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "IBLIS SERONG"): "Kalau dia bukan jelmaan Jin Layon, mungkin sudah hancur menjadi serbuk arang yang tak mungkin dapat kita kenali lagi. Ia kalah sakti dengan lawannya!" tegas Kumala setelah menarik napas lagi sebagai tanda kelegaan hatinya, karena ia yakin kesaktiannya dapat memulihkan kondisi fisik Buron. Entah siapa lawan yang memiliki kesaktian lebih tinggi dari Jin Layon itu, yang jelas ia masih beruntung dapat peluang dalam keadaan sekritis itu. Barangkali saat itu Buron menggunakan sisa-sisa kekuatannya yang terakhir untuk pulang dari perjalanan tugasnya, sesuai perintah Kuinala Dewi kemarin siang. Kembalinya Buron itu sangat mengejutkan mereka, terutama bagi Mak Bariah dan Sandhi yang sedang tertidur nyenyak. Menjelang subuh tadi, mereka terlonjak sangat kaget mendengar suara ledakan bergemuruh; seperti atap rumah roboh bersama dinding-dindingnya. Lantai tempat tidur mereka sempat bergetar, menandakan ada sesuatu yang tumbang atau jatuh berdebam dalam kondisi sangat berat. Ketika mereka bertiga; Kumala, Sandhi dan Mak Bariah, keluar dari kamar masing-masing, mereka semakin terperangah kaget melihat seonggok benda hitam berasap. Onggokan yang disangka bom besar itu ternyata adalah raga Buron yang mengalami luka bakar sangat hebat. Sisa-sisa kekuatan hawa saktinya sebagai Jin Layon itulah yang tadi membawanya melayang dari suatu tempat, menerobos atap rumah dan jatuh berdebam menggetarkan lantai serta dinding-dinding kokoh itu. Tapi anehnya tak sedikit pun tampak kerusakan pada atap rumah tersebut. Tak ada keretakan sedikit pun pada dinding-dinding rumah indahnya Kumala Dewi itu. Yang ada hanya kondisi lantai tempat jatuh sedikit melesak ke dalam, menandakan tak sanggup menerima beban terlalu berat. Padahal tubuh Buron tak segemuk Sandhi Sedikit kurus, dan tak tampak berotot kekar. Bersamaan dengan munculnya Buron yang sempat disangka telah menjadi bangkai itu, Kumala Dewi menerima telepon dari Sersan Burhan tentang terjadinya ledakan dahsyat yang menghancurkan sebuah villa di kawasan Puncak. Pada waktu itu indera keenam Kumala mengatakan bahwa ledakan dahsyat itu ada kaitannya dengan kondisi sekaratnya si jelmaan Jin Layon yang sering dijuluki Jin Usil itu. Untuk memperjelas semuanya, Dewi Ular terpaksa mengerahkan kesaktian dewaninya dengan penuh hati-hati sekali. "Selubungi kain dari kepala sampai kaki. Jangan sampai ada yang terbuka sedikit pun!" perintah Kumala kepada Sandhi, dan tubuh hangus tak berkutik itu pun segera diselubungi kain cukup rapat. Mak Bariah membantu pekerjaan itu dengan ungkapan kasih sayang dalam bentuk gerutuan kecil terus-menerus, seakan sedang mengomel pada Buron tiada berkesudahan. Sementara itu, Kumala Dewi memasang beberapa lilin yang mengitari dipan tempat Buron direbahkan. Lilin- lilin itu menyala secara serempak, cukup dengan satu kali jari Kumala menjentik memancarkan hawa saktinya. Kliik... ! Bluub... ! Berbagai macam keajaiban dan keanehan dari kesaktiannya Dewi Ular sudah sering dilihat Mak Bariah dan Sandhi. Tapi toh pagi itu mereka masih saja dibuat tercengang-cengang kagum melihat keajaiban yang dilakukan putri tunggal Dewa Permana itu. Kumala yang duduk bersila dalam pakaian tidur model piama dari kain sutera lembut itu sengaja mengurai rambutnya yang panjang berkilauan, la melakukan meditasi kurang dari dua menit, lalu perlahan-lahan tubuhnya mengambang di udara setinggi satu meter dari permukaan tanah. Entah dari mana saat itu angin dini hari berhembus agak kencang, dan sepertinya berhasil merembas ke dinding ruangan tersebut. Angin itu menyebarkan aroma wangi cendana dan campuran bunga segar yang sulit ditemukan di permukaan bumi. Semilir angin dingin itu membuat lidah-lidah api pada tiap pucuk lilin melayang terlepas dari sumbunya. Lidah api tersebut meliuk-liuk seirama hembusan angin yang memutar, kemudian mereka bergerak mengelilingi tempat di mana Buron dibaringkan. Mak Bariah dan Sandhi menahan napas melihat keajaiban tersebut. Mata mereka tak berkedip sekejap pun, sehingga mereka melihat dengan jelas ketika tubuh Kumala yang bersila di udara itu ikut bergerak memutari tempat pembaringan Buron. Kedua tangannya di rentangkan dengan lemah lembut bagaikan sedang menari. Maka, seketika itu pula lidah-lidah api lilin bergerak ke satu titik. Menyatu secara serempak, dan membentuk cahaya kebiru-biruan yang memancar ke setiap penjuru. Cahaya itu menghujani Buron yang diselubungi kain. Beberapa kejap kemudian cahaya biru berlarik-larik itu pecah kembali. Berubah menjadi lidah-lidah lilin dan kembali kepada sumbunya masing-masing. Bertepatan dengan itu Kumala Dewi melayang turun perlahan-lahan dengan gerakan memutar lembut. Setelah itu ia melepaskan meditasinya. "Buka kainnya, San...!" perintahnya pelan, tak terkesan kasar dan semena-mena. Sandhi pun membuka kain pembungkus tubuh Buron dengan dibantu oleh Mak Bariah . "Ohh .?!" "Hahh ?!" Kedua orang pengikut setianya itu tercengang melihat Buron sudah dalam keadaan pulih seperti sediakala. Seperti tak pernah mengalami luka bakar sedikit pun. Bahkan jelmaan Jin Layon itu tampak seperti sedang tertidur nyenyak dengan pakaian biasa. Melihat hasil usahanya sebegitu sempurnanya, Kumala Dewi hanya tersenyum tipis. Anggun, dan menawan hati. Lalu, ia tinggalkan mereka di ruangan tersebut. Buron tersenyum lega melihat dirinya telah pulih sebagai jelmaan Jin Layon seperti biasanya. Sandhi pun menampakkan kegembiraannya lewat senyum samar-samar, sedangkan Mak Bariah mulai bersungut-sungut penuh gerutuan mengecam jin usil itu. "Makanya, lain kali jangan sok-sokan luh! Kayak jagoan aja! Ilmu masih seupil berani ngelawan musuh yang ilmunya tinggi. Masih untung nggak mampus luh!" "Siapa yang sok-sokan sih?! Aku kan sekedar menjalankan tugas dari Kumala, Mak?! Tugas memburu gelombang energi panas yang dicurigai sebagai bom misterius itu, Mak." "Terus, kamu dapatkan sumber energi panas itu?" tanya Sandhi. "Iya dong. Tapi berkali-kali aku gagal menjinakkan bom itu. Baru saja gelombang panasnya tertangkap oleh getaran saktiku, lalu kukejar ke tempatnya, eeh... dia sudah meledak lebih dulu Yang terakhir, aku menangkap getaran gelombang energi sangat panas. Kukejar ke sana, di sebuah villa. Eeh... baru saja tiba ternyata sudah meledak! Dan, ledakannya mengandung gelombang panas yang tidak sewajarnya. Aku yakin, gelombang panas itu bukan berasal dari bumi ini, bukan dari alam ini, tapi dari alam kegelapan sana, San! Aku nggak sanggup menahan getaran hawa panas itu Hampir saja aku hancur di tempat. Untung aku punya energi gaib cadangan, sehingga aku bisa melarikan diri pulang. Tapi, kupikir tadinya aku nggak akan tertolong oleh Kumala, sebab Kumala sendiri kehilangan hawa sucinya sangat banyak, tapi... " "Hawa sucinya sudah pulih sepenuh dulu lagi sejak kemarin sore," sahut Sandhi. Kemudian tak melarutkan ucapannya karena dewi cantik jelita itu sudah muncul kembali dengan segelas minuman aneh. Gelas itu berisi gumpalan uap tebal seperti mega, berwarna putih kehijau-hijauan. "Minumlah uap dewaniku ini, biar jalur gaibmu terbuka kembali.!" Buron sempat terperanjat setelah mengetahui jalur gaibnya tertutup akibat luka parahnya tadi. Oleh karenanya, ia pun buru-buru meminum uap dewani itu hingga habis. Rasanya seperti meneguk busa-busa salju beraroma harum dan semanis delima rasanya . "Kau yakin energi panas yang kau temukan adalah bom yang meledak di beberapa tempat itu?" "Sangat yakin, Kumala. Karena setiap kutemukan gelombang energi panas yang aneh, maka sebelum aku berhasil mendekati tempat itu sudah meledak lebih dulu. Setelah terjadi ledakan, aku tak merasakan adanya gelombang energi panas seperti sebelumnya." "Kau lihat bentuknya ? Ciri-ciri bom itu?" Buron menggelengkan kepala. Lugu sekali "Mata gaibku sulit menembus gelombang panas itu dari kejauhan, Kumala Yang jelas, dua kali kutemukan letak posisi energi panas itu. Tiga kali dengan yang di villa. Keduanya selalu berada dalam sebuah kamar, dan kamar itulah yang kemudian segera meledak sebelum berhaji kuterobos." Bidadari bumi itu tertegun dalam renungannya. Tak terlihat guratan rona dendam sedikit pun di wajah itu. Tapi hati kecilnya merasa tak rela orang kepercayaannya menderita cedera yang nyaris merenggut jiwa. Apalagi sekarang kekuatan hawa sucinya sudah pulih kembali, tak ada waktu lagi untuk menimbang-nimbang langkahnya. Ia putuskan untuk secepatnya memburu si pengganggu gaib yang kelihatannya ingin menghancurkan kehidupan di muka bumi ini. Kumalapun sependapat dengan Buron yang mengatakan, bahwa energi panas penyebab ledakan-ledakan maut itu berasal dari alam lain. "Kalau cuma bom biasa rakitan manusia, aku tak akan sampai separah tadi, Kumala," kata Buron dalam pemaparannya. "Saat terjadi ledakan di villa, aku melihat gelombang hawa api merah saga yang menyebar begitu luasnya, dan gelombang hawa api itu hanya bisa dilihat dari alam gaib. Tak bisa dilihat oleh manusia biasa." "Maksudmu... gelombang api pemunah jagat?" "Ya. Seperti itulah warna merah api yang kulihat dari ledakan di villa maupun ledakan yang teijadi di sebuah cottage." kumala Dewi tampak sedikit berkerut dahi. Ada sesuatu yang dipikirkan dan dibayangkan dalam benaknya. Sesuatu itu sangat penting untuk diperhatikan, karena jika benar hawa api yang dilihat asisten gaibnya adalah hawa api pemunah jagat, maka tak dapat disangkal lagi akan adanya rencana dari alam seberang untuk menghancurkan kehidupan di muka bumi. Jika begitu, berarti ramalan yang disampaikan Griniie kepada Rayo itu adalah ancaman yang akan menjadi kenyataan. Kehidupan di muka bumi akan berakhir, kaum lelaki akan punah. Setajam itukah indera keenam Grinne, sehingga ia mampu meramalkan kedatangan hari kiamat?! Sayang sekali waktu Rayo membawa Kumala untuk menemui Grinne, ternyata gadis itu tidak ada di. laboratorium, tempatnya bekerja. Grinne ikut rombongan team riset kedua yang hari itu harus mengambil contoh tanah di salah satu kepulauan Seribu yang dikabarkan mengandung elemen ganjil. Tetapi hari ini Rayo beijanji akan secepatnya menghubungi Kumala jika gadis itu telah kembali dari Kepulauan Seribu. Meski pun hari ini adalah hari Minggu, namun Rayo tetap standby di pusat penelitiannya, sambil melanjutkan pekerjaan yang kemarin sengaja ditangguhkan itu. Namun sampai hari makin redup, sore akan berganti senja, telepon Rayo tiada kunjung datang. Kumala mulai resah. Sudah tiga kali ia menghubungi handphone Rayo, tapi selalu mailbox alias tak tersambung. Keresahan yang ada di hati Kumala semakin bertambah setelah selesai menangani beberapa tamu yang datang silih berganti dengan membawa persoalan masing-masing. Pada waktu itu Kumala mencoba lagi menghubungi HPnya Rayo, tapi masih tetap tidak tersambung, sementara di rumah maupun di tempat kerjanya juga tidak ada. "Ada apa sebenarnya .. ? " pikir Kumala dengan hati curiga. Ia mulai menggunakan kesaktiannya untuk mencari di mana pria tampan itu berada, dan mengapa HP-nya dimatikan. Pada waktu itu langit mulai buram, sebentar lagi akan berkumandang suara adzan maghrib dari tempat-tempat ibadah di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Menurut keterangan operator telepon di laboratorium, Rayo memang tadi sudah datang, sekitar pukul sembilan pagi. Tapi antara pukul sebelas lewat ia sudah pergi lagi. Operator telepon itu mengaku menerima pesan dari Rayo, bahwa Rayo hanya pergi sebentar dan nanti akan kembali lagi ke tempat kerjanya. Tentang ke mana perginya Rayo, orang-orang kantor yang tugas lembur di situ tidak ada yang mengetahui. Kumala juga memperoleh keterangan bahwa team riset kedua sudah kembali dari kepulauan Seribu, terbukti dua orang anggota team itu tadi sudah muncul di laboratorium, tapi segera pulang ke rumah masing-masing. "Mereka cuma menaruh beberapa peralatan riset ke gudang, setelah itu pulang semua," kata Ajip, office boy yang menyambut teleponnya Kumala tadi. Ajip tidak tahu ke mana perginya Rayo, sebab Ajip tidak tahu kalau Rayo sebelum pergi sempat menerima telepon melalui HP-nya. Hanya Rayo yang tahu bahwa telepon itu datang dari Grin yang memintanya datang ke sebuah perpustakaan ilmiah yang terletak sekitar lima kilometer dari kantornya. "Aku menemukan sesuatu yang sangat penting kau ketahui di perpustakaan ini, Ray. Datanglah kemari. Kita bicarakan sambil makan siang. Okey?" Rayo sempat menolak secara halus, dan menyuruh Grin datang menemuinya di labtoratorium. Tapi gadis itu justru mendesak Rayo agar secepatnya datang ke perpustakaan. Ia mempunyai alasan yang sangat kuat, yang membuat Rayo menyadari bahwa ia harus datang dan Grin memang tak bisa datang menemuinya. "Salah satu buku kuno telah kutemukan di perpustakaan ini, dan di sini ada tiga gambar yang salah satu mungkin punya kesamaan dengan gambar simbol yang kau temukan di lempengan logam tua itu, Ray. Datanglah sendiri dan lihatlah. Kau lebih tahu tentang simbol itu." Rayo memang sedang memburu data:data tentang sebuah simbol yang ditemukan pada lempengan logam kuno, prasejarah. Itulah sebabnya ia menjadi penasaran dan segera pergi ke perpustakaan. Di sana Grin memang sudah menunggu di salah satu bangku yang ada dalam ruangan besar, tempat membaca buku-buku tersebut. Sebab pihak perpustakaan memang tidak mengizinkan siapa pun membawa atau meminjam buku untuk dibawa pulang. Karenanya, disediakan ruangan besar, berlangit- langit tinggi, dengan dilengkapi fasilitas untuk membaca. Perpustakaan itu hanya buka pada hari-hari kerja. Hanya orang-orang dari instansi tertentu saja yang boleh masuk pada hari libur, karena mereka memiliki akses yang membuat mereka bebas keluar-masuk perpustakaan kapan saja. Di antaranya adalah para pegawai di tempat kerja Rayo. Karenanya Rayo tak merasa heran jika Grin bisa masuk ke perpustakaan pada hari Minggu itu. Toh nyatanya Rayo sendiri juga diizinkan masiik oleh penjaga perpustakaan itu melalui pintu samping, pintu khusus untuk para pemegang freepass. Ruangan besar itu menyerupai sebuah hall tanpa jendela. Langit-langitnya yang tinggi dengan kisi-kisi beijarak 6 meter dari lantai menunjukan ciri arsitektur lama. Bangunan tersebut memang bangunan kuno yang hanya mengalami renovasi di bagian belakang saja. Maka ketika Rayo memasuki ruangan tersebut, suasana lenggang dan lembab menyambut langkahnya bergema samar-samar itu. Dari pintu samping yang tingginya 4 meter itu Rayo dapat melihat seraut wajah cantik yang sedang duduk di balik meja baca, dengan sebuah buku tebal di depannya. Wajah cantik itu segera tegak memandang ke arah pintu masuk begitu terdengar suara pintu dibuka dan langkah kaki menggema samar-samar. Ia tersenyum kecil, seolah-olah merasa lega dan senang sekali melihat Rayo sedang menghampirinya. "Celaka! Aku jadi deg-degan berada di ruangan ini hanya berdua dengannya," pikir Rayo. "Tatapan matanya seperti mengandung magnit yang membuaiku jadi sangat tertarik untuk menikmati kecantikan dan keindahan mata itu. Gawat nih. Nggak boleh lama-lama di sini. Aku harus bisa memancingnya untuk keluar dari tempat yang sunyi, sepi, dan berpeluang besar untuk berbuat yang bukan-bukan." Kenyataan yang dialami Rayo saat itu berbeda dengan rencana dalam benaknya. Rayo bagaikan tak punya kesempatan untuk memancing Grin keluar dari ruang perpustakaan itu. Bahkan sepertinya ia lupa dengan rencananya sendiri karena hanyut dalam pembahasan masalah dengan Grin. Gadis itu banyak memberi keterangan dan pendapat dari sebuah analisanya dengan sebentar-sebentar menunjukan buku yang berbeda-beda, sebagai alasan memperkuat analisanya itu. Duduknya pun pindah ke samping Rayo, karena ia harus menunjuk tulisan-tulisan atau gambar-gambar dari buku yang dimaksud. "Nah, jadi lempengan logam tua yang memiliki simbol seperti ini sebenarnya sebuah manuscript yang terpisah dari bagian lainnya. Dan, manuscript itu berisi tentang tanda-tanda kehancuran jagat raya ini. Sedangkan tanda-tanda yang dimaksud dalam manuscript itu, sekarang sudah mulai muncul. Antara lain, kematian kaum lelaki dan kehancuran sepasang cinta dalam cumbu mesranya. Kematian dan kehancuran itu makin lama akan semakin meningkat frekuensinya, yang pada akhirnya nanti akan membuat bumi penuh dengan jerit tangis dan ratapan kaum wanita, jika sudah begitu, maka sang penguasa alam jagat raya ini akan meledakan bumi dan planet- planetnya. Itulah detik-detik datangnya kiamat!" Rayo tertegun beberapa saat. Pemaparan Grin membuatnya semakin penasaran. Dia mencari beberapa buku lainnya sebagai perbandingan dari apa yang sudah disimpulkan Grin tadi. Grin membantu mencarikan buku pembanding, dan ikut membaca bersama mengenai keterangan-keterangan dalam buku yang sedang dibaca Rayo. Posisinya menjadi semakin berdekatan, bahkan sesekali saling merapatkan lengan tanpa sadar, sehingga aroma wangi parfumnya yang menyengat gairah seorang lelaki itu membuat Rayo bagaikan tenggelam dalam suasana romantis yang mengasyikan. Debar-debar hatinya merupakan sebuah proses mencapai keindahan jiwa yang hakiki. "Kalau memang ramalan kuno itu benar, berarti..." "Berarti kamu harus segera punya pendamping hidup, Ray," sahut Grin, lalu tertawa renyah sambil mengguncang-guncang pundak Rayo. Bersikap seolah-olah sangat akrab dan bebas menyentuh tubuh Rayo yang mana saja. Rayo merasa kikuk, salah tingkah menyikapinya. Bahkan menghindari tangan Grin yang memegangi pundak dan menyandarkan dagu di pundaknya pun merupakan sesuatu yang sulit dilakukan Rayo. "Satu-satunya pendamping hidup yang dapat menolongmu dari ancaman maut adalah aku, Ray." "Kenapa harus kamu?" Ray melirik kaku. "Karena akil gadis terpilih yang tidak akan ikut hancur walau pun bumi ini lebur menjadi debu. Aku punya jimat." Ray tersenyum geli. "Jimat apaan?" "Jimat... jimat... " Grin berpikir-pikir sambil tersenyum berkesan canda. "Jimat penyelamat lelaki. Pokoknya, lelaki yang bersamaku setiap saat, dia tidak akan ikut lenyap pada saat langit runtuh menimpa bumi ini... " "Bisa aja kau ini," Rayo tertawa kecil sambil mengemasi buku. "Mau lihat jimatku? Hmm. ..?!" suara Grin makin menggoda gairah. "Nggak mau, ah!" "Kenapa nggak mau? rugi lho kalau nggak mau lihat jimatku," Grin menggeser-geserkan dadanya di lengan Rayo. Godaaan itu semakin membuai Rayo gundah gulana. Ia ingin menghindari sentuhan hangat itu, namun sulit melakukannya karena hampir seluruh hatinya dikuasai oleh kehangatan yang nikmat dan indah sekali. "Belum ada cowok lain yang pernah melihat jimatku . lho, Ray. Apalagi menyentuhnya, uuhh... bisa kubuntungi tangan cowok itu kalau berani menyentuh jimatku. Tapi.... kali ini aku izinkan kalau kau ingin melihat atau menyentuh jimatku, Ray... Mau ...... ? " "Jangan begitu, Grin. Ini di perpustakaan...!" bisik Rayo ketika Grin semakin merapatkan dadanya ke punggung, memeluk Rayo dari belakang. Rambut panjang Rayo tersingkap karena hidung mancung Grin menerobos di leher kanan. Bahkan bibir Grin dirasakan telah mengecup kulit pundak Rayo dekat leher sebelum berbisik dengan suara parau. "Di sini sepi, Ray. Nggak ada yang perlu kita khawatirkan lagi." "Jangan begitu, ah!" "Aku sangat bergairah, Ray Aku ingin mendapatkan kehangatan romantis dari cowok seganteng kamu, Ray...," sambil tangannya menerobos masuk ke balik baju Ray, karena kancing baju sudah terlepas dua pasang. Rayo gemetar menerima usapan tangan halus di dadanya, sehingga ia buru-buru melawan perasaan syurnya sendiri dengan gerakan sedikit meronta. "Hmmm, sebentar... aku mau cari minuman dulu di luar, Grin!" "Ngak usahlah. Nanti saja!" Tapi Ray tetap menghindar sehingga lepas dari pelukan kendor kedua tangan Grin tadi. Ia segera melangkah sewaktu Grin ingin meraihnya lagi. Langkahnya sedikit cepat menuju ke arah pintu yang tertutup namun tidak terkunci itu. "Kamu mau coca cola atau sprite, atau yang lainnya, Grin?" serunya sambil tetap melangkah. "Nggak usahlah, Ray. Ke sinilah dulu!" panggil Grin sambil melambaikan tangan. Rayo seperti tak mendengar suara Grin. Ia hanya tersenyum dan berseru lagi. "Apa aja, ya? Tergantung apa yang ada di kantin sebelah nanti, ya? Atau kamu nggak usah dibeliin apa-apa deh. Begitu?" Rayo tertawa kecil. Tawanya itu menutupi kepanikannya sendiri, karena saat itu jantungnya berdetak cepat, dan langkahnya ingin segera sampai di luar ruangan. Ia akan menelepon Kumala Dewi setibanya di luar nanti Kini ia tahu persis apa yang diinginkan Grin atas dirinya. Namun, biar bagaimana pun ia tak ingin menodai ketulusan cintanya kepada Kumala, sehingga apapun jadinya nanti ia harus bisa menghindari bujukan mesum asistennya itu . Namun ketika Rayo tiba di pintu, ia menjadi bertambah panik karena ternyata pintu tinggi itu tidak bisa dibuka. Handel pintu tidak bisa dibuka. Agaknya pintu itu terkunci kuat-kuat, dan mungkin penjaga perpustakaan lupa bahwa di dalam ruang baca masih ada orangnya. Rayo menggeram pelan, mengecam si penjaga perpustakaan. Tapi ia segera mendengar suara tawa kecil Grinne yang cekikian menggema di ruangan besar itu. Rayo buru-buru menoleh sambil nyengir kuda. "Kita dikunciin dari luar rupanya! Waah, payah si penjaga itu!" "Sudahlah, ngapain pakai keluar segala. Kan masih ada yang perlu kita lakukan di sini, Ray?!" sambil Grinne menghampirinya. Rayo menggebrak-gebrak pintu dengan kasar agar penjaga mendengarnya dan membukakan pintu tersebut. Namun gebrakan keras itu tak membuat si penjaga datang ke pintu ruang baca. Tahu-tahu di belakang Rayo sudah berdiri Grinne dengan tawa kecilnya dan sentuhan tangan nakal melingkar pinggang. "Ray... kamu kok jagi ketakutan sih? Kenapa? Memangnya aku nggak menarik buat dirimu, ya?" "Bukan begitu, Grin. Hmm, eeh... kita terkunci di dalam nih!" "Biar saja begini dulu. Nanti penjaga akan ingat kalau kita ada di dalam sini. Dia pasti akan segera membukakan pintu itu. Sekarang, sebelum penjaga membukakan pintu, bukankah lebih baik kita manfaatkan peluang emas ini untuk menyatukan hati kita, Ray?" Sambil bicara begitu tangan Grin yang memeluk pinggang Rayo sedikit mendorong ke depan, sehingga mereka melangkah pelan-pelan menuju ke tempat semula dan Rayo kebingungan mengatasinya. Pelukan melingkar pingang itu dirasakan begitu hangat dan mesra, sehingga gairah kemesraan Rayo tergugah dan meronta. Menuntut kemesraan lebih indah lagi. Mengharapkan puncak kemesraan yang paling tinggi. "Cuma kamu satu-satunya lelaki yang bisa membuatku selalu berpikir tentang kemesraan bercumbu, Ray. Sungguh!" Rayo masih belum bisa bicara apa-apa. Serba salah. Ketika ia merasa ditahan langkahnya, ia menuruti isyarat itu. Berhenti melangkah sebelum mencapai bangku tempatnya duduk tadi. Grin sengaja memutar tubuh Rayo hingga mereka berhadapan. Kedua tangan Grin melingkar di leher Rayo, sedikit bergelayut manja, penuh tantangan mesra. Senyum dan tatapan mata mewakili ajakan bercumbu seorang wanita yang sudah tak membutuhkan basa-basi lagi. Aku ingin kau yang Ray... kecuplah dengan "Kecuplah aku, Ray... menghampiriku dan... ooh, hangat bibir ini, Sayang....!"' Rayo berkeringat dingin. Kedua kaki dan tangannya gemetaran. Matanya tak bisa berkedip. Sayu. Memandangi lidah Grin yang mengusap bibir sendiri. Lidah itu sengaja meliuk-liuk dipermainkan di bibir yang sudah merekah, menunggu sentuhan hangat bibir Ray. "Aku... aku... aku nggak bisa, Grin," kata Rayo dengan napas dihembuskan lepas. Ia ingin menghindari tatapan mata Grin, tapi kepalanya tertahan oleh kedua tangan Grin yang meremas-remas rambutnya dengan mesra. "Kau pasti bisa, Ray. Kau punya jiwa romantis. Aku tahu hal itu dari setiap tatapan matamu. Kau lelaki istimewa, Sayang. Kau hebat, hangat, penuh kejantanan, dan pasti sangat perkasa. Oh, Ray... dekatkan bibirmu kemari. Ouuh..." sambil bibir Grinne sedikti disodorkan. Sungguh menggiurkan bagi Rayo. Darah kejantanannya bergolak mendidih bergemuruh kuat, menghentak-hentakkan jantungnya. Sebab, hati kecil Rayo masih berusaha untuk bertahan. Terbayang wajah Kumala Dewi berkali-kali. Muncul dalam benaknya. Membuat kebimbangan semakin menyiksa jiwa. "Ayolah, sayang... aku sudah tak kuat bertahan lagi... " rengek Grinne semakin berani, sebab tangannya yang kanan pun kini semakin ganas meremas ke bawah, sambil menunggu kecupan mesra lawannya datang melumat hangat bibir sensualnya. Suasana terang dari keempat lampu utama di ruangan itu kini menjadi redup. Lebih bersuasana romantis. Karena, tiga dari keempat lampu utama itu padam dengan sendirinya. Tinggal satu lampu utama di pojok sana dan lampu baca yang ada di atas meja tempat mereka membaca tadi. Lampu baca itu pun menggunakan kap lebar, membuat bias cahayanya tidak menyebar ke mana-mana melainkan terfokus ke meja baca. Dengan suasana temaran itu, Grinne menjadi semakin bergairah. Napasnya lebih cepat lagi. Sementara itu, Rayo basah kuyup oleh keringat dinginnya, la sulit menarik tangan Grinne agar lepas dari kenakalannya la segera tidak mampu bergerak secara normal, selain hasrat ingin memeluk erat tubuh sexy bergaun ketat, pas badan. Hasrat itulah yang dilawan Rayo mati-matian . "Oohh.. kau sudah.., kau sudah siap rupanya, Ray? Ouuhh. " Grinne tersenyum kegirangan setelah tangannya berhasil menemukan tanda-tanda gejolak gairah cintanya Rayo. Sementara itu, Rayo sempat melirik ke arah kisi-kisi, dan ternyata di sana sudah tidak ada cahaya. Berarti di luar sana hari sudah menjadi remang. Mungkin sebentar lagi akan berubah petang. "Boleh kulepas ini, Sayang?" bisik Grinne semakin menantang menunjukkan keberanian emosi cintanya. Rayo menilai bahwa Grin saat itu menjadi semakin nekat, semakin memaksanya untuk melakukan pergumulan cinta yang liar. "Jangan, Grin!" tiba-tiba Rayo punya kekuatan untuk mencegah tangan Grin yang ada di bawah. "Sebaiknya kita... " "Ayolah, Ray... Biar kubantu melepaskannya !. Aku suka kok... " Grinne mendesah dengan kemanjaan yang terkesan semakin jalang. Tapi Rayo tak membiarkan hal itu dilakukan Grinne. Ia berusaha untuk menghindar dari jangkauan tangan Grin atau menahan tangan itu agar tidak semakin lebih gila lagi. Sampai akhirnya keduanya sama-sama tersentak diam, terkejut oleh suara yang sama sekali tak disangka-sangka datangnya . "Lepaskan dia, Grin!" "Hah...?!" Grinne cepat berpaling ke arah pintu. Begitu pula dengan Rayo. Pintu masih dalam keadaan tertutup dan terkunci. Tapi ternyata seseorang telah berhasil masuk ke ruangan itu dan kini sedang berdiri tenang dalam jarak sekitar 4 meter dari tempat mereka. Tatapan matanya tajam dan membuat Rayo makin gentar. "Lala...?!" suara itu sangat parau dan lemah sekali. Mungkin hanya Rayo sendiri yang tahu apa maksud dari sapaan yang menggunakan nama panggilan mesranya Kumala Dewi itu "Hmmmm?! Siapa kau dan apa perlumu masuk ke sini?!" tegur Grinne dengan berang. Tangannya tak senakal tadi. Tapi ia mendekap tangan kiri Rayo kuat- kuat, seolah-olah menunjukkan bahwa ia tak rela jika Rayo harus melangkah dari sisinya. "Menjauhlah dari permata hatiku, Grin!" Suara tenang itu mengandung getaran aneh, membuat buku-buku dan rak-rak kecil yang mengelilingi ruangan tersebut menjadi bergetar sekejab. Lampu gantung di atas meja baca menjadi bergerak-gerak seperti mendapat gangguan dari bagian atasnya. Pandangan mata Grinne semakin dipertajam. Galak. Ia mempererat dekapannya sehingga Rayo sulit melepaskan diri. Pria tampan itu akhirnya memohon dengan suara dan kalimat terputus-putus. "Lepas... lepaskan ... tanganku, Grin. Dia... dia... kekasih. Dia... Kumala Dewi yang... yang... " "Oooo, jadi ini yang namanya Kumala Dewi, gadis kebanggaanmu selama ini, Ray?! Hmmm?!" Grinne tetap tak mau lepaskan dekapan tangannya. Ia mencibir sinis kepada Kumala Dewi yang berhasil menemukan kekasihnya, dan masuk ke ruangan itu menggunakan kesaktiannya, mampu menembus pintu baja setebal apapun. Meski hati Kumala sempat terbakar melihat Rayo sedang diperdaya oleh gadis secantik Grinne, namun ia tetap berhasil menguasai emosinya, sehingga tampil dengan kalem, waspada, dan pastilah penuh rencana di otaknya. "Sekali lagi, kumohon jangan ganggu dia, Grin!" "Tengil amat lagumu, Kumala?! Konyol amat lagakmu! Kau pikir aku ini siapa, beraninya kau mengancamku secara halus seperti tadi, hah?! Pergilah sana! Jangan ganggu urusan pribadiku kalau kau ingin selamat!" " Sudah kuduga, kau bukan wanita sebenarnya, Grin. Aku tak melihat auramu. Itu tandanya kau bukan gadis bumi, melainkan gadis dari alam seberang. Alam kegelapan!" Kumala melangkah lebih dekat lagi, karena Rayo seperti sedang terjepit sesuatu yang amat kuat dan berat, sulit melepaskan diri dari dekapan tangan Grinne. Tapi baru saja Kumala Dewi maju satu langkah , Grinne menyambutnya dengan sentakan tangan gaibnya. Satu kali sentakan tangan ke depan menghadirkan gumpalan hawa panas yang dapat membakar tubuh lawan dalam sekejap saja. "Mundur...!" Wuubb...! Dewi ular menggerakan tangannya seperti membuka tabir di depannya. Wuuss... ! Hawa panas membahayakan tadi lenyap seketika. Udara di ruangan itu menjadi dingin. Melebihi dinginnya udara AC yang sejak tadi berhembus memenuhi mangan tersebut. Rupanya gerakan kedua tangan Dewi Ular bukan hanya berguna untuk melawan hawa panas, tapi juga mengandung kekuatan untuk memisahkan dekapan Grinne dengan lengan Rayo. Akibatnya, Grinne terlempar ke samping kiri, sementara Rayo membentur rak pendek di samping kanannya. Braaak.! Beberapa buku berjatuhan dari rak itu. Seeet... ! Dalam setengah kejap saja Dewi Ular . sudah berpindah tempat. Kini ia berdiri di depan Rayo. Melindungi kekasihnya dari usaha Grinne yang pasti ingin menghampiri Rayo lagi. Maka, ketika Grinne tegak kembali dan ingin melangkah ke tempat rayo, kakinya batal diangkat. Tak jadi melangkah. Sebab, di sana telah berdiri lawannya yang tetap tenang dan dingin, bersikap . melindungi Rayo dari gangguan siapa saja. Grinne menggeram penuh kemarahan. "Keparat kau, Kumala Dewi! Kau merampas pria yang kusukai! Terimalah hukuman dari kelancanganmu ini, Kumala! Hiiih.!!" Kedua tangan Grinne merentang dalam satu sentakan serentak. Tiba-tiba datang angin panas yarig berhembus cepat, berputa-putar bagaikan puting beliung. Angin besar itu membuat buku-buku berantakan, dan Kumala sendiri terhuyung-huyung mundur menahan hembusannya, sambil melindungi Rayo yang ada di belakangnya. Rayo mendekap tubuhnya sendiri karena merasakan sengatan panas di sekujur tubuh. "Ouuh, panas sekali, Lala...!" seru Rayo di antara suara deru angin dan kegaduhan yang menggema. Kumala Dewi mendorong Rayo dengan punggungnya agar Rayo merapat ke dinding. "Pegang tepian rak besar itu!" seru Kumala yang rambutnya menjadi morat-marit karena hembusan aifgin panas itu. Ketika dilihat Rayo telah memperoleh pegangan. Dewi Ular segera merapatkan kedua tangannya di dada, lalu mulutnya menghembuskan napas panjang yang juga menimbulkan suara deru gemuruh. Napas itu bukan sembarangan napas, melainkan hawa sakti yang mengandung uap salju dan berguna untuk melawan hawa panas Grinne. Semua barang yang ada di sekitarnya menjadi semakin morat-marit. Berantakan tak karuan. Tetapi hasilnya tak mengecewakan. Udara panas telah membuat lembaran kertas menjadi berwarna coklat - keruh itu kini sirna, dan berubah menjadi hawa dingin seperti di dalam almari pendingin daging. Hal itu membuat Grinne tercengang sesaat, lalu matanya menatap penuh kebencian dan permusuhan besar. "Kau benar-benar memuakkan, Kumala' Hiiiahh...!" Claaap, claap.... !! Dua sinar merah seperti mata tombak keluar dari kedua tangan Grinne. Gerakannya yang melebihi kecepatan roket itu dapat menjebolkan dinding di belakang Kumala. Untuk itulah Kumala sengaja tak menghindari cahaya tersebut. Ia menangkapnya dengan kedua tangan yang telah mengeluarkan bias cahaya hijau berpendar-pendar. Teeb, teeb...!Zuuuuubbs. ! Kedua cahaya merah tadi padam seketika api genggaman tangan Dewi Ular mengeluarkan asap sisa pembakaran cukup tebal. Bau sangit pun tercium oleh mereka. Rayo mencemaskan tangan Kumala Hanya saja, ia tak dapat berbuat apa-apa karena ia menyadari bahwa Grinne memang bukan manusia biasa. Ia sedikit lega setelah melihat kedua tangan Kumala melepaskan genggaman, dan tangan itu tak mengalami luka sedikit pun. "Ooo, rupanya kekuatan seperti inilah yang mengganggu kehidupan umat manusia di muka bumi?!" gumam Kumala sambil manggut-manggut. Grinne membalas lebih tegas lagi "Kehidupan di sini akan punah dalam waktu tak lebih dari seminggu lagi, tahu?! Kau tak akan bisa melumpuhkan kekuatan kami!!" "Siapa bilang?!" sahut Kumala. Kemudian tangan kanannya berkelebat seperti memotong sesuatu di depannya. Weess... ! Bruuk . ! "Aahhk...!" Grinne terpekik kaget Tubuhnya langsung rubuh, karena kini kedua kakinya putus tanpa mengucurkan darah setetes pun Kumala Dewi telah memenggal kedua kaki Grinne menggunakan pedang gaibnya, sehingga Grinne menjadi panik mengatasi dirinya sendiri. "Tak akan kubiarkan siapa pun yang mengganggu kehidupan dan kedamaian penghuni bumi ini, Grinne!" sambil melangkah maju mendekati Grinne yang berusaha berdiri dengan kedua lututnya, namun selalu gagal. Kumala menghentikan langkahnya sekitar dua meter, dan menyemburkan uap putih seperti kabut dari telapak tangannya. Wuuusssbb...! " Ahljhk...!" Grinne mengejang. Tubuhnya terbungkus busa salju dalam sekejap saja. Ia menyeringai kesakitan. Dari tiap jengkal tubuhnya memercikan bunga api silih berganti, hingga akhirnya bunga-bunga api itu padam sendiri, dan Grinne terkulai di lantai tanpa kala lagi. Busa-busa salju yang melumpuhkan kekuatan gaibnya itu segera meleleh namun tanpa meninggalkan bekas air seperti lelehan busa salju biasanya. Ia merintih dan terengah-engah menderita sekali. Kumala Dewi sengaja membiarkan beberapa saat. Hanya memandangi dengan tetap berwibawa dan berkharisma tinggi. Melihat kekasihnya sudah berhasil menjinakkan amukan Grinne dan tampaknya Grinne juga sudah berhasil dilumpuhkan seluruh kekuatannya, maka Rayo pun mulai mendekati Kumala dengan tetap berhati-hati dan sangat waspada. Ia mendengar suara rintihan Grinne yang sangat pelan dan serak itu. "Selesaikan pekerjaanmu, Kumala! Hancurkan aku sekarang juga! Hancurkanlah... Aku sudah tak memiliki apa-apa lagi! Kekuatanku sudah kau padamkan. Untuk apa kau biarkan aku menjelma menjadi sosok manusia begini? Hancurkanlah aku, Kumala...!" "Baik. Akan kupenuh permintaanmu. Tapi... jelaskan dulu, siapa dirimu sebenarnya?!" Mula-mula Grinne tak mau menjelaskan. Ia mendesak Kumala berulang-ulang agar segera dihancurkan Tapi Kumala justru bertahan untuk tidak memenuhi keinginan itu, sehingga Grinne tak punya pilihan lain kecuali harus menjawab pertanyaan Kumala lebih dulu. "Aku utusan dari istana langit. Tugasku menghancurkan kehidupan di bumi ini dengan... " "Istana langit yang mana? Jelaskan lebih lengkap lagi." "Istana Lereng Bangkai, tempat bertahtanya junjunganku: Putra Kinasih Marong Porang. Kurasa kau mengenalnya, Kumala." "Marong...?!" gumam Rayo sambil melirik Kumala yang segera mengangguk pendek, pertanda Kumala mengetanui betul siapa yang dimaksud dengan putra Kinasih Marong Porang itu. Tak lain adalah putra kedua dari penguasa alam kegelapan; Dewa Lokapura. Tentu saja kehadiran Grinne di bumi bertujuan sebagai aksi balas dendamnya Marong atas kekalahan adik-adiknya dalam melawan Dewi Ular (baca serial Dewi Ular dalam episode: "MISTERI ANAK SELIR") Selanjutnya Grinne menjelaskan bahwa ia diutus menghancurkan kehidupan di bumi bukan hanya sendirian. Masih banyak lagi utusan Marong yang sekarang tersebar di seluruh Tanah Jawa Mereka adalah gadis-gadis cantik yang diciptakan Marong dari butiran bara api neraka. Mereka hadir pada saat malam, ketika terjadi hujan api yang hanya sekejap namun menghebohkan masyarakat itu. Gadis-gadis itu tercipta secara fisik setelah roh kegelapan mereka bertemu dengan gadis manusia biasa. Seketika itu pula roh kegelapan merubah diri menjadi serupa dengan gadis itu, termasuk gadis keponakan Profesor Atmaja, yaitu Grinne. Sementara itu, Grinne yang asli tidak mengetahui telah memiliki kembarannya, karena gadis itu sengaja dihindari Grinne dan tak pemah ditemuinya. "Kami merubah wujud menjadi gadis bumi supaya bisa bercumbu dengan kaum lelakinya. Cumbuan itulah yang akan menghancurkan kalian. Sebab, dalam diri kami tersimpan tenaga penghancur yang akan meledak manakala kami mencapai puncak kemesraan bercinta." "Gila betul misi ini?! " gumam Rayo. "Jadi, bom itu ada dalam diri gadis-gadis cantik, yang akan meledak di saat mencapai puncak kemesraan?! Benar-benar mengerikan misi ini, Lala!" "Ya. Dan, harus segera diselesaikan setuntas mungkin" "Tapi hancurkan dulu raga ini, Kumala! Kami lebih nikmat hancur daripada memiliki raga pembungkus kebebasan gaib kami ini. Itulah sebabnya, kami merasa senang manakala kami sudah mencapai puncak kemesraan, lalu hancur menjadi arang. Sebab, pada saat itulah roh kami bebas menanggung beban maupun tugas yang sebenarnya kurang kami sukai selama ini." Dewi Ular tak pernah ingkar janji. Permohonan Grinne tetap dipenuhi. Setelah mendapat banyak keterangan dari gadis jelmaan itu, Kumala pun segera menyempurnakan kehancuran Grinne dengan kekuatan gaib dewaninya. Dengan sekali melepaskan cahaya hijau kecil seperti paku yang keluar dari ujung jari tengahnya, jasad yang digunakan Grinne palsu itu pun hancur menjadi seperti gumpalan tanah keras. Kedua kakinya yang terpotong tadi secara ototmatis telah berubah menjadi gumpalan keras pula . "Lekas kita tinggalkan tempat ini untuk melenyapkan sisanya!" kata Kumala seraya menarik tangan Rayo. Pemuda tampan itu sempat menggeragap tegang karena ia seperti dibawa lari membentur pintu tebal. Tapi ternyata ia tak merasakan benturan apa-apa ketika melewati pintu yang tertutup, sebab arus gaib dari genggaman tangan Kumala ternyata jnampu membuatnya menerobos benda padat apapun, seperti bayangan tanpa raga. Dengan sebuah kesaktian yang berfungsi untuk menyerap seluruh roh kegelapan, Kumala Dewi akhirnya berhasil mengirim kembali utusan Morang ke alam asal mereka. Tentu saja pengiriman kembali roh-roh iblis itu membangkitkan kemarahan Morang, sehingga putra kedua Dewa Kegelapan itu merasa perlu untuk turun sendiri ke bumi, membuat perhitungan balasan kepada putri tunggal Dewa Permana itu. Mampukah kesaktian Kumala Dewi mengalahkan kesaktian anak iblis yang terlahir dari seorang ibu bergelar Ratu Lidah Setan itu? Kita ikuti saja kelanjutan cerita ini di episode mendatang. SELESAI Edit ulang oleh : zheraf http://www.zheraf.net